Aku dan Pikiran Awamku II: Merasa Cukup dengan Tingkat Keimanan dan Ilmu yang Ada

Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Assalamu'alaikum warrohmatullaahi wabarokaatuh.

Kali ini saya akan membahas tentang pikiran awam saya yang lain yang dulu pernah menghalangi saya untuk mempelajari Islam. Pikiran awam ini mungkin juga pernah ada dalam benak banyak saudara seiman dan seaqidah saya. Ya, pikiran awam tersebut adalah merasa cukup dengan tingkat keimanan dan ilmu yang ada.

Saya ingat sekali, dulu ketika saya sering ditegur oleh Muslim2 lain yang ilmunya lebih tinggi daripada saya terkait dengan kesalahan tata cara ibadah maupun muamalah, saya selalu merasa direndahkan (mungkin sampai sekarang masih. bisa tergantung mood saya maupun cara penyampaian sang da'i. :)))

Nah, pada saat saya sedang merasa terserang itu, saya selalu berpikir, "Apa sih? Toh ada orang2 yang ibadahnya jauh lebih buruk daripada saya. Toh saya tidak membunuh, mencuri, berzina. Saya masih solat 5 waktu. Kenapa sih kayaknya harus banget saya berbuat baik terus menerus seolah2 saya ini orang suci?

Dengan kata lain, saya saat itu merasa "saya nih nggak buruk2 amat. Segini aja sudah Alhamdulillah, lumayan. Yang penting mati sebagai mu'min."

Padahal di situlah kesalahan pola pikir saya. Mengapa saya merasa aman dengan keimanan saya? Ya, memang Allah Maha Pengampun dan Maha Mensyukuri kebaikan hamba-Nya seperti yang diterangkan di surat Fathir ayat 30. Tapi bukankah seorang Muslim sebaiknya menghisab dirinya sendiri selama di dunia sebelum dihisab di hari akhir saat bertemu dengan Allah subhanaahu wata'aalaa? Sahabat-sahabat nabi tidak pernah puas dengan keimanan mereka dan selalu mempertanyakan di mana letak kekurangan ibadah mereka. Bahkan Umar bin Khattab rodhiallaahu'anhu pun paling menyukai orang2 yang menunjukan kesalahannya.

Di dunia yang kemungkinan besar sudah memasuki masa akhir zaman ini, terlalu banyak fitnah terjadi yang dapat menguji keimanan kita. Kita hidup di masa di mana kita harus berdampingan dengan orang kafir dan mengikuti jalan hidup dunia yang sama dengan orang kafir. Orang zaman dahulu akan dengan mudah menghargai gaya hidup orang kafir dengan MEMBIARKAN mereka melakukan ibadah dan pola hidup meraka tanpa perlu mencampur2nya dengan aqidah kita. Namun, kita kadang terpaksa harus melakukan budaya-budaya mereka, sekalipun bertentangan dengan Islam, hanya untuk diterima dalam masyarakat global yang sudah menuju penyeragaman budaya global.

Kadang interaksi yang terlalu intens dengan kebudayaan kafir ini memaksa kita lebih memahami sudut pandang orang2 di luar Islam daripada sudut pandang Islami. Coba saja lihat pergeserannya dari generasi orang tua kita. Dulu orang Asia mungkin masih menganggap perzinahan itu tabu, namun kini zina sudah menjadi hal yang global. Bila kita menghina pezina, kitalah yang akan dicap berpikiran sempit dan sok suci. Dulu norma-norma masyarakat Indonesia masih menganggap minuman keras tabu, namun kini minuman keras sudah dijual di mana2 dan orang2 yg membenci peredaran bebas minuman keras dianggap fanatik.

Coba bayangkan bila ilmu Islam kita begitu minim dan kita harus menghadapi tekanan masyarakat seperti ini? Tidakkah sudut pandang kita yang seharusnya Islami sebagai Muslim perlahan2 akan berubah menjadi sudut pandang kafir? Kita menyatakan iman pada Allah, Rosulullah, malaikat, kitab2, nabi2 sebelumnya, dan pada diinul Islam, tetapi perspektif kita malah menganggap bahwa banyak hal dalam Islam salah dan tidak cocok dengan kondisi dunia saat ini? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kita menganggap Islam itu dari Allah dan menolak ajaran-ajarannya secara bersamaan? Tanpa sadar pengetahuan dunia kita yang lebih dominan daripada pengetahuan Islam kita ini bisa jadi menjerumuskan kita pada kriteria manusia yang dijelaskan pada QS. Al Baqoroh ayat 8-10. Orang2 yang berkata beriman pada Allah dan hari akhir padahal bukan mu'min. Orang2 yg hendak menipu Allah dan org2 beriman padahal hanya menipu diri sendiri tanpa sadar. Orang2 yg memiliki penyakit di hati dan ditambah penyakitnya oleh Allah dan diazab dgn pedih krn telah berdusta atas keimanannya? Na'uudzubillaahimindzaliik.

Maka itu, pikirkanlah wahai Muslimiin.... Apakah cukup pengetahuan Islam-mu dan amal2mu saat ini? Apakah cukup untuk dibawa ketika bertemu dengan Allah subhanaahu wata'aalaa di hari akhir? Apakah cukup utk hadapi segala fitnah dan cobaan di akhir zaman ini? Apa kau masih terlalu percaya diri bahwa kita bisa mati kapan saja sebagai mu'min? Apakah kamu pikir kamu dapat mengatakan dirimu beriman dan Allah tidak menguji keimananmu lagi?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Posting Komentar

say something :)