10 Sastrawan Favorit
Sambil mendengarkan takbiran Idul Adha, saya akan menuliskan 10 sastrawan favorit saya *gak nyambung*
Maafkan eike, saudara2 sesama Muslim. Saya tidak punya ide mau menuliskan apa soal Idul Adha. Yang jelas, Selamat Idul Adha aja deh bagi yang merayakan. Semoga kita bisa memaknai Idul Adha dengan baik. Selamat solat, selamat potong kambing, selamat sentosa bagi saudara2ku yg sedang naik haji. Semoga sukses ibadah hajinya. :D
Oke, kembali ke topik awal. Saya akan menjelaskan list 10 sastrawan satu2. Harap baca baik2. XD
10 Sastrawan Favorit Midorima
1. Edgar Allan Poe
Oke, dia di peringkat pertama. Saya baru saja beli biografinya. Membaca biografinya membuat saya mengerti mengapa saya sangat mengagumi karya-karyanya. Dia jenius dalam bidang puisi. Dia luar biasa dalam menulis cerpen. Tapi yang membuat saya benar-benar tergila-gila pada karya-karyanya adalah karena tema yang ia ambil adalah tema-tema yang suram dan tragis. Melalui karya-karyanya saya sangat merasakan penderitaan dan segala keputusasaan dalam kehidupan. Karakter-karakternya adalah orang-orang yang bermasalah untuk mengenali dunia ini. Jangankan utk mengenali dunia ini, sering kali karakter-karakter dalam cerpen Edgar Allan Poe bermasalah dalam mengenali dirinya sendiri. Tapi Poe juga tidak membuat seolah-olah para karakter yang bermasalah itu benar. Mereka adalah karakter-karakter yg memiliki kekurangan, tapi di balik kekurangan mereka tersimpan alasan-alasan tertentu yang membuat kita lebih mengenal dunia. Inilah yang membuat saya merasakan keterikatan antara diri saya dengan karya-karya Poe. Poe meneriakkan suara hati saya. Oh ya, satu lagi: Dia membuat puisi berjudul "Al-A'Raaf" (sebuah surat dalam Al-Qur'an yg jg menjadi surat favorit saya). Tapi dia tidak menerjemahkannya menjadi "The Highest Place" dan tetap menggunakan istilah "Al-A'Raaf." Menurut saya dia cerdas, karena memang kata Al-A'Raaf tidak memiliki padanan yang tepat di bahasa lain untuk menjelaskan makna yg sama. Dan sejak menyadari hal ini, saya jadi semakin sadar mengapa Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab. Thanks to Edgar Allan Poe, I can understand my religion better(padahal dia bukan org Islam loh XD).
2. Leo Tolstoy
Penulis lain yang juga sering mengangkat tema-tema suram. Bedanya, karakter-karakter Tolstoy terkesan lebih manusiawi dan sederhana. Karakter-karakternya umumnya hanya orang-orang biasa yang terjebak dalam masalah hidup manusia yang biasa namun menjerumuskan, tapi akhirnya dapat menemui jalan keluar atas masalah tersebut. Membaca karya Tolstoy seolah mendapatkan "pencerahan" bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Kecuali cerpen "Seberapa Luaskah Tanah yang Diperlukan Seseorang" bagiku semua cerpen Tolstoy diakhiri dengan happy ending. Nah, ini dia. Kelihatannya cerpen2 Tolstoy itu tidak berakhir dengan Happy Ending karena selalu diakhiri dengan kematian. Padahal sebenarnya tidak begitu. Aksenof dalam "Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu" memang meninggal, tetapi ia meninggal dengan keikhlasan atas penderitaan yang telah ia alami akibat fitnah yang dituduhkan padanya. Alyosha juga meninggal, tapi ikhlas karena kepergiannya tidak merepotkan orang yang ia cintai. Ivan Ilyich akhirnya meninggal tapi justru ia menginginkan kematian itu karena ingin lepas dari penderitaan dunia. Jadi, karya2 Tolstoy-lah yang membuat saya mempertanyakan kembali konsep dari "happy ending." Dan karena itulah bagiku dia sangat hebat. XD
3. Sapardi Djoko Damono
Kenape harus die? (logat Malaysia). Kenapa? Ya, karena bagiku beliau adalah sastrawan terbaik Indonesia. Mungkin beberapa orang akan berpikir saya berlebihan atau saya mengaguminya hanya karena dia mantan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Tapi bukan itu sebenarnya yang membuat saya terkagum-kagum padanya. Saya selalu menggemari puisi-puisinya. Membaca puisinya membuat saya menyadari keindahan bahasa Indonesia. Bahwa kata-kata berlebihan tidak terkesan lebay bila diujarkan dengan bahasa Indonesia yang tepat guna. Dan semua yang sederhana dapat menjadi tema bila disuguhkan dalam bahasa yang luar biasa. TAPI, saya semakin mengagumi beliau ketika membaca cerpen-cerpennya. Sebelum membaca cerpen Pak Sapardi, saya selalu merasa cerpen-cerpen yang panjang dan padat detail adalah yang terbaik. Namun ketika saya membaca cerpen-cerpen beliau, saya terkejut. Ternyata sebuah karya dengan tema sederhana, tanpa detail berlebihan, dengan jumlah kata yang tidak terlalu banyak dapat disampaikan dengan indah. Cerpen Pak Sapardi yang benar-benar membuat saya terpukau adalah Testamen. Cerpen ini tidak sampai 1 halaman, akan tetapi mengandung berbagai makna kehidupan. Salah satu cerpen terbaik bagi saya. Dan ini membuat saya mengakui kejeniusan Pak Sapardi.
4. Seno Gumira Ajidarma
Menurut saya dia adalah penulis Indonesia kedua yang sangat kusukai. Saat pertama kali membaca kumpulan cerpen Seno yang berjudul "Saksi Mata" saya benar-benar merasakan teknik penceritaan yang berbeda. Seno dapat mengisahkan cerita-cerita tragis di Timor Timur tanpa harus mengeksploitasi kesadisan (meskipun sebenarnya beberapa cerita temanya sadis sekali). Akan tetapi, Seno dapat mengemasnya dengan halus sehingga realitas yang keji itu tidak terasa terlalu keji, namun kita tetap dapat mengerti kekejiannya dan informasi yang ingin ia sampaikan mengenai keadaan Timor Timur juga tersampaikan. Seperti halnya Edgar Allan Poe, Seno tidak membuat seolah-olah karakter-karakternya itu benar, tetapi ia sangat berhasil membuat kita memahami perasaan karakter-karakter tersebut. Kumpulan cerpen "Saksi Mata" memang kumpulan cerita terbaik Seno bagi saya. Namun saya juga terkagum-kagum dengan "Pelajaran Mengarang" dan aneka cerita Sukab. Karena itu tadi, Seno orang yang sangat berpengalaman dan telah melihat banyak penderitaan manusia di muka bumi ini (saya rasa), tapi dia berhasil menyampaikan penderitaan tersebut tanpa harus mengeksploitasinya.
5. Roald Dahl
Beliau ini adalah pengarang cerita anak-anak favorit saya. Cara dia menceritakan cerita jenaka, seperti halnya anak-anak. Akan tetapi ia menunjukkan sisi lain dari dunia anak-anak. Ia mendobrak dunia cerita anak bahwa cerita anak tidak harus melulu cerita tentang hal-hal yang bahagia saja. Tentu saja Hans Christian Andersen juga memiliki beberapa cerita yang tidak berakhir bahagia, tapi saya lebih menyukai cerita Roald Dahl ketimbang cerita HCA karena cerita-cerita Roald Dahl tidak terkesan menggurui. Bahkan cerita tersebut seperti menunjukkan bahwa ada hal-hal yang diketahui anak-anak yang dianggap orang dewasa sebagai omong kosong dan orang dewasa menggurui anak-anak untuk tidak mempercayai hal tersebut padahal sebenarnya hal tersebut benar-benar ada. Dalam kenyataannya, pesan moral mengenai benar dan salah memang tidak dapat ditarik dengan mudah. Dan Roald Dahl menunjukkannya di karya-karyanya. Pesan moral dari ceritanya tidak dapat ditarik dengan mudah. Kalau menjadi tikus selamanya terkesan seperti ending yang menyesatkan untuk anak-anak, sebenarnya dari cerita tersebut kita dapat belajar untuk menerima diri kita apa adanya bukan?
6. Jane Austen
Saya biasanya membaca Jane Austen bila saya ingin tenggelam dalam kisah-kisah romantis ala gadis-gadis remaja. Lupakan William Shakespeare. Dia adalah pria. Dan setiap kali dia mengisahkan perasaan cinta seorang wanita, ia terkesan lebay dan berlebihan. Padahal, sebenarnya wanita pun kalau mencintai seseorang tidak sebegitu lebaynya. Hal inilah yang tidak diketahui Shakespeare, tetapi diketahui Jane sebagai seorang wanita. Pada kenyataannya, wanita pun memiliki ketakutan-ketakutan tersendiri dalam mencintai orang lain yang kadang membuat ia sulit untuk menunjukkan rasa cintanya itu. Memang akhir kisah Jane Austen biasanya berakhir happy ending (tidak seperti kisah cintanya di dunia nyata). Tetapi, hei, siapa yang mau terus-terusan tenggelam dalam dunia cerita para lelaki yang terus menunjukkan realitas dunia yang menyeramkan seperti pujangga-pujangga lelaki yang saya tuliskan sebelumnya? Kadang-kadang saya dan Jane Austen pun membutuhkan mimpi-mimpi dan impian seperti wanita lainnya. Supaya setidaknya hidup ini tetap memiliki harapan, meskipun belum tentu harapan itu kesampaian.
7. Samuel Beckett
Saya ini tidak terlalu suka drama atau teater. Namun begitu saya membaca "Waiting for Godot" dan "Happy Days" saya baru menyadari bahwa drama adalah bentuk karya sastra yang memiliki keindahan tersendiri. Seperti yang kita tahu, dari bentuknya saja karya Beckett memang sangat berbeda dengan drama lain. Karakter sangat minimalis, hanya dua orang tokoh utama dan mungkin beberapa tokoh lain yang datang dan pergi begitu saja. Drama dipenuhi dengan dialog tentang topik yang sama berulang-ulang. Gerakan tubuh pun tidak terlalu sering. Tapi justru itu yang kusuka dari karya Beckett. Bukankah hidup (khususnya hidup zaman sekarang) itu memang monoton dan berulang-ulang saja. Tapi dalam keadaan seperti itu pun, para karakter itu tetap menjalani peran mereka dengan baik. Membaca karya Beckett, membuat saya jadi lebih mensyukuri kehidupan yang terkesan kosong ini (ibaratnya, "syukur2 masih hidup. kenapa sih manusia itu terlalu banyak menuntut?"). Oh ya, sekedar tambahan saja. Waktu pertunjukkan Waiting for Godot ini dipentaskan di depan para napi di sebuah penjara, awalnya para napi itu memang terkesan bosan. Tapi setelah pertunjukkannya selesai, para napi itu menangis. Itulah hebatnya Samuel Beckett. Berkat dia, saya jadi sangat ingin menjadi penulis dengan aliran absurdisme. :)
8. Lemony Snicket
Tertawalah, saya bahkan memasukkan penulis "nggak jelas" ini sebagai sastrawan favorit saya. Memang penulis ini tidak pernah menunjukkan identitasnya. Dan karyanya juga hanya 13 buku A Series of Unfortunate Events yang dibuat seolah-olah seperti kisah nyata. Tapi saya suka gaya dia bercerita. Suram, tapi masih menunjukkan harapan. Tiga karakter utama dalam ceritanya itu benar-benar unik. Dan saya sangat suka dengan ide "anak-anak yang mengetahui hal lain melebihi orang dewasa tapi tidak dipercaya dan dianggap omong kosong." Hahahaha. Mungkin karena saya dari kecil selalu diperlakukan begitu oleh orang-orang dewasa di sekitar saya. Tapi saya sudah mulai menikmati keadaan itu. Toh seperti yang ada di cerita ini, ternyata tidak selamanya orang dewasa lebih benar dari anak-anak, bukan? Selain itu gaya dia menyamar sebagai Lemony Snicket benar-benar cerdik. Saya jadi terinspirasi, kalau-kalau suatu hari nanti saya mau meneruskan hobi menulis saya untuk dikomersilkan, saya akan memakai nama dan identitas samaran supaya privasi saya tidak terganggu. Dan supaya kisah saya terkesan lebih hidup saya akan menyarankan orang-orang untuk tidak membaca buku saya karena buku saya berisi tentang realitas yang menyedihkan. LOL. XD
9. J.R.R. Toliken
Tentu saja, karya beliau yang saya baca memang hanya Lord of The Rings. Tapi menurut saya trilogi tersebut sudah mencakup banyak aspek dalam kehidupan. Dan yang Tolkien lakukan adalah sebuah kejeniusan. Sebelum membaca karya Tolkien, saya tidak terlalu menyukai karya-karya High Fantasy. Menurut saya semua High Fantasy rasanya hanya sekedar "entertaining" saja. Seperti Harry Potter yang entertaining. Atau Star Wars yang entertaining juga. Namun, ketika saya menonton, terlebih ketika membaca bukunya, saya merasakan hal yang berbeda dari High Fantasy. Orang-orang dalam cerita LOTR itu terasa begitu dekat. Rasanya saya pernah melihat mereka di sekitar saya. Dan rasanya saya juga pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Ternyata terbukti memang Tolkien ingin menceritakan berbagai macam orang yang dikenal dalam sejarah dengan bentuk yang lebih halus, yaitu dengan cara membiarkan mereka hidup di dunia yang benar-benar berbeda. Dan saya salut bagaimana ia mendeskripsikan dunia-dunia tersebut secara detail. Dia bahkan membuat bahasa sendiri untuk mencerminkan dunia tersebut. Dia GILA.
10. Frances Hodgson Burnett
Salah seorang penulis cerita anak-anak yang juga mengungkap sisi lain dari dunia anak-anak. Bedanya, karena ia wanita, saya merasa lebih dekat dengan cerita-ceritanya dan karakter utama yang ada dalam ceritanya. Saya suka dengan cara dia menceritakan tentang anak-anak yang kesepian. Tapi anak-anak yang kesepian itu pun punya cara untuk membangun kebahagiaan mereka sendiri. Yah saya selalu suka cerita tentang orang-orang yang kesepian. Seperti ceritanya Mary Lennox, Collin Craven, Sara Crewe, bahkan Lavinia. Seperti yang dilantunkan Paul McCartney di lagu Eleanor Rigby: "All the lonely people, where do they all come from?"
A Brief Introduction to My Undergraduate Thesis
Halo halo.... Hari ini saya mau memperkenalkan skripsi saya pada saudara2 sekalian. Sekalian bikin abstraksi sebenarnya, karena dari kemarin2 udah selesai bab 1 (pendahuluan) dan bab 2 (landasan teori), sekarang lagi jalan bab 3 (analisis) tapi masa gue lupa bikin abstraksi. wkwkwkwk. parah beud. ya udah. jadi ini abstraksi dari skripsi saya dan beberapa temuan-temuan yang saya dapat dari proses analisisnya. Jangan diplagiat ya. Kalau mau dicopas ke website lain atau dipublish di media lain di dunia nyata, bilang2 eike dulu dan jangan lupa kasih credit. Yang pasti email dulu deh ke midorima@kuririnmail.com I trust you guys. :D
ABSTRAK
Penulis : Rima Muryantina
Judul : Dialog Alex dan Jonathan dalam Film Everything is Illuminated: Analisis Tindak Tutur dan Implikatur Percakapan dalam Perbedaan Budaya
Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sering kali tidak semata-mata digunakan hanya untuk menyampaikan makna tertentu pada pihak kawan bicara,, tetapi juga untuk menunjukkan sikap kita terhadap kawan bicara maupun terhadap topik pembicaraan. Menurut J.L. Austin, sebagian besar tuturan yang diujarkan manusia mencerminkan tindakan manusia terhadap seseorang atau sesuatu. Konsep inilah yang kemudian ia sebut sebagai “tindak tutur.” Dalam tindak tutur manusia, terdapat daya pragmatik yang diharapkan terjadi setelah tuturan tersebut diujarkan. Daya pragmatik ini dapat disampaikan dengan cara langsung maupun tidak langsung. Dalam penuturan tidak langsung, sering kali terdapat implikasi-implikasi makna yang bervariasi dan biasanya tergantung dari konteks tuturan yang diujarkan. Salah satu konteks yang berperan penting dalam memahami makna implisit dari tindak tutur manusia adalah kebudayaan para peserta tutur. Dalam film Everything is Illuminated (2005) arahan Liev Schreiber, terdapat banyak tindak tutur dan implikatur dalam dialog tokoh Alexander Perchov dan Jonathan Foer. Sering kali kedua tokoh ini saling tidak memahami tindak tutur dan implikatur yang mereka gunakan dalam percakapan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang kebudayaan di antara kedua tokoh. Alex yang lahir dan dibesarkan di Ukraina sering kali tidak memahami konteks tuturan dan implikatur yang digunakan Jonathan yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga Yahudi di Amerika, begitu pula sebaliknya. Tindak tutur dan implikatur yang dilakukan kedua tokoh dalam film ini saat berdialog akan dianalisis secara kotekstual dan kontekstual dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk lebih memahami teori Tindak Tutur dan Implikatur Percakapan serta dapat membantu menambah pemahaman mengenai konflik antar tokoh dalam film tersebut.
Kata Kunci: tindak tutur, implikatur percakapan, pragmatik, kebudayaan, film, konflik antar tokoh.
Beberapa hal menarik yang sudah saya temukan dalam proses analisis untuk skripsi ini:
1. Tindak tutur Alex yang selalu menyebut nama Jonathan sebagai "Jonfen" sebenarnya disebabkan karena ketidakfasihannya dalam berbahasa Inggris dan keterikatannya pada aturan fonologis dalam bahasa Ukraina. Dalam fonologi Ukraina, tidak terdapat fonem dental /Ɵ/. Fonem ini digunakan untuk melafalkan "th" dalam nama Jonathan seperti halnya untuk melafalkan "th" dalam kata "think", "thief", dan "thunder." Karena tidak terbiasa melafalkan fonem dental sebelumnya, maka Alex secara tidak sadar mencari bunyi yang mendekati fonem dental dalam fonologi Ukraina. Dalam kasus ini, Alex memilih bunyi fonem labiodental /f/ seperti pada kata "fish" dan "far" untuk melafalkan nama Jonathan.
2. Tindak tutur Jonathan saat ia meminta makanan tanpa daging di restoran tidak dapat dimengerti oleh Alex karena perbedaan kebudayaan yang berkaitan dengan makanan. Alex tidak memahami konsep "vegetarian" yang dimaksud oleh Jonathan karena dalam budaya Ukraina, daging merupakan salah satu makanan utama. Khususnya daging babi dan sosis. Jadi, konsep "tidak memakan daging" dianggap aneh oleh Alex yang lahir dan dibesarkan dengan budaya makan ala Ukraina.
3. Tindak tutur Jonathan ketika melarang Alex untuk menyebut kata "negro" tidak dapat dipahami oleh Alex karena adanya perbedaan Schemata (pengetahuan silam yang didapat melalui pengalaman) yang dimiliki keduanya. Kata "negro" bagi Jonathan yang mengetahui sejarah perbudakan kulit hitam di Amerika merupakan kata yang mengandung konotasi negatif karena dulunya kata ini memang digunakan sebagai alat untuk melakukan FTA (Face Threatening Act: Tindakan atau kata2 yang menyerang "muka" /mempermalukan seseorang) terhadap orang kulit hitam. Sementara itu, Alex yang merupakan orang Ukraina tidak memiliki pengetahuan mengenai sejarah ini dan kata "negro" di Ukraina memiliki makna yang netral dan tidak ofensif.
4. Terdapat juga kesulitan-kesulitan dalam pemahaman dalam konsep "tip" dan "vallet" yang sering digunakan di Amerika namun tidak familiar digunakan di Ukraina.
5. Meskipun pada umumnya perbedaan budaya membuat kedua tokoh sulit memahami masing-masing tindak tutur dan implikatur, ada beberapa tindak tutur dan implikatur yang dipertahankan dan dimengerti untuk menjaga kesantunan secara pragmatik. Inilah yang membedakan sopan santun dalam konsep sosiolinguistik dan kesantunan dalam konsep pragmatik. Sopan santun dalam konsep sosiolinguistik hanya menyangkut elemen-elemen bahasa yang dianggap sopan pada budaya tertentu, sementara kesantunan dalam pragmatik merupakan elemen bahasa yang sengaja dipilih untuk tidak menyakiti pihak kawan bicara secara universal, tidak peduli budaya apa yang mempengaruhi para peserta tutur (terima kasih atas penjelasan salah seorang dosen linguistik dari prodi Indonesia pada kuliah umum PMPK hari ini :D). Dalam rangka menjaga kesantunan pragmatik ini, kedua tokoh menggunakan tindak tutur dan implikatur tertentu. Sebagai contoh, tokoh Alex selalu menerjemahkan tuturan kasar kakeknya dalam bahasa Ukraina ke dalam bahasa Inggris yang lebih sopan untuk menjaga hubungannya dengan Jonathan yang merupakan kliennya. Hal ini juga menunjukkan adanya relasi kuasa antara tokoh Alex dan Jonathan, yang mana tokoh Jonathan sebagai klien memiliki dominasi atas Alex dan karena itulah kesantunan menjadi tujuan dari tuturan.
Introduction + Tragedi MacBeth
Dengan ini saya nyatakan bahwa saya pindah blog lagi *ketok palu*
Tadinya mau mengaktifkan wordpress atau multiply gue lg. tp tiba2 entah kenapa jd pengen iseng aja coba blogspot. hahahaahahhaah. *gak ada yg lucu, Rim. jangan ketawa dong*
oke setelah blog2 sebelumnya gue sembunyikan dari teman2 gue (gak jelas kan gue, bikin blog tp disembunyi2in). mulai sekarang gue akan membuka blog gue ini untuk umum. *ketok palu lagi*
Karena ini baru permulaan, maka saya akan memperkenalkan diri saya dulu.
Nama saya Rima Muryantina. Sebenarnya punya marga Hutagalung di belakang, tp di akte kelahiran nggak ditulis. Saya orang Batak, tapi sering disangka orang Cina. Ibu saya orang Jawa. Saya ngerti bahasa Jawa sedikit2. Tapi kalo diajak ngomong nggak bisa. Kalo bahasa Batak? Papa saya pelit. Nggak pernah ngajarin bahasa Batak. Terus dia pernah bilang "enak bisa ngomongin orang lain dalam bahasa planet tanpa harus ketahuan isi pembicaraannya"
sial.
alhasil bahasa batak gue cuma berkisar hitung2an 1-10 dan kata "hepeng". tp si Papa janji suatu saat mau ngajarin. awas kalo nggak.
ngomong2 soal bahasa, seharusnya saya merasa malu. karena saya gak bisa bahasa daerah, tp sok2 banyak2 belajar bahasa asing. Sekarang ini saya sedang kuliah di Program Studi Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Saya juga sedang ikut les bahasa Perancis di CCF Jakarta cabang Wijaya. Waktu SMA saya pernah belajar bahasa Jerman. Waktu SMP pernah les bahasa Jepang (dan waktu kuliah juga ambil mata kuliah pilihan bahasa Jepang sumber dan bahasa Perancis sumber). Oh ya, waktu SD saya pernah belajar bahasa Arab, tapi udah rada lupa. wkwkwkwkwk. XD
Intinya, saya suka belajar bahasa. Sekarang ini saya sedang fokus di bidang linguistik dan skripsi saya topiknya mencakup bidang pragmatik. Tepatnya, saya sedang fokus mengaplikasikan teori Implikatur Percakapan-nya H.P. Grice dan teori Tindak Tutur-nya J.L. Austin dan objek penelitian saya adalah dialog dua tokoh, Alex Perchov dan Jonathan Foer dalam film Everything is Illuminated. Itu film favorit saya, arahan sutradara Liev Schreiber.
Ngomong2 soal film. Saya waktu kecil suka sekali nonton film. Semua film dijabanin, mulai dari film kartun, horor, action, drama pokoknya semua film2 tahun 90-an terasa seru bagiku. Tapi akhir2 ini (sejak tahun 2000-an) bosen nonton film jaman sekarang. Dan lebih tertarik dengan film2 jadul yang diputar pas saya belum lahir. Jadi jangan heran kalau selera film saya jadul2 dan sering kali saya tidak nyambung kalau diajak ngomong tentang film masa kini. Hanya sebagian kecil dari film jaman sekarang yang saya suka. Dan rata2 film jaman sekarang yang saya suka itu tidak disukai oleh orang lain (contohnya ya Everything is Illuminated yang nyaris tak terdengar itu). Kecuali film2nya Dakota Fanning, New Moon aja gue jabanin kalo ada dia-nya. wkwkkwkwk. XD
Saya juga suka menulis. Dulu waktu SMA sering nulis esai, karya tulis ilmiah, dan cerpen (dan menang loh... *pamer*). Pernah juga coba nulis artikel di majalah remaja. Tapi itu dulu, waktu masa kejayaan saya. Sekarang sih udah kuliah, terlalu sibuk nulis makalah jadi jarang ikut lomba2an lagi. Terakhir cuma menang lomba puisi terus puisinya dipajang di Antologi Puisi (itu jg lombanya diadakan sama Markas Sastra, organisasi kampusku saja. tarafnya nggak nasional lagi kyk dulu ---> berasa kena post-power syndrome). Sekarang sih lg enjoy nulis skripsi aja. Kadang2 nulis puisi. Kalau ada waktu nulis blog. Kalau lebih banyak waktu lagi, baru nulis cerpen (biasanya kalau liburan).
Akhir2 ini juga suka fotografi. Tapi masih amatir sih. Kemarin baru nyoba ikut lomba fotografi yang diadakan organisasi2 di kampus. Tapi belum tahu hasilnya (tapi nampaknya kemampuan fotografiku masih sangat cetek, jadi saya pesimis). XD
Oh ya, saya ini terobsesi dengan warna hijau. Saya suka membeli barang-barang berwarna hijau. Jadi kalau pernah ketemu cewek pake jilbab dari ujung rambut sampai ujung kaki pakaiannya hijau semua (sampai ke tas2nya), bisa jadi itu saya. Tapi sekarang saya sudah mulai bertobat, kok. Sudah mulai terbuka dengan warna-warna yang lain. XD
Itulah sedikit tentang saya. Jadi, apa yang saya akan tulis di blog ini tentunya nggak terlalu jauh dari skripsi saya (sabar ya saudara2), linguistik, puisi/cerpen, atau hobi-hobi saya yang lain. Kadang-kadang saya juga akan cerita tentang kehidupan sehari-hari saya. Tapi mulai sekarang saya mau latihan untuk menahan diri untuk menuliskan hal-hal pribadi dalam bentuk puisi saja biar nggak ketahuan. X)
Kecuali kalau saya "khilaf" atau udah "nggak tahan," maka jangan terkejut kalau ada hal2 sensasional yang saya tulis di sini. Tapi saya akan berusaha untuk tidak khilaf kok, tenang saja. wkwkwkkwkwk.
Oh ya, untuk pembukaan (biar isi blognya nggak cuma perkenalan aja), saya mau memberitahu saudara2 sekalian (sah bahasanya) bahwa saya tadi baru saja menonton pertunjukkan teater Macbeth di Taman Islamil Marzuki, Jakarta. Jarang2 loh saya nonton teater. Berhubung yang main adalah teman2 saya, anak2 Teater Sastra UI, maka saya datang ke sana (telat tapinya. kuningan macet soalnya. wkwkwkwk. ---> alasan!)
terus berhubung sudah larut malam dan saya tipe cewek alim gt deh... anak perawan kan nggak baik pulang malam2 (kamuflase dari kata "anak mami") saya tidak nonton teaternya sampai selesai. pas istirahat 15 menit langsung ngacir pulang. tapi beneran loh, nyampe rumah jam stengah sebelas malam aja Papa-Mama sudah berpidato (eufimisme dari kata "ceramah" dan "khotbah" karena entah kenapa kedua kata ini terasa kasar kalau ditujukan untuk orang tua).
Oke, balik lagi ke Macbeth, kalian semua pada tahu kan kalau Macbeth itu drama karya William Shakespeare yang berdasarkan legenda Skotlandia tentang panglima yang membunuh rajanya sendiri karena terpengaruh ramalan 3 orang penyihir. Terus untuk menutupi kejahatannya ia harus membunuh orang2 lain lagi (jadi kejahatan ditutupi kejahatan). Tapi akhirnya dia malah dihantui oleh rasa bersalahnya sendiri. Ya kira2 begitu. gue baca Macbeth pas mata kuliah SKB (Sejarah Kesusastraan Britania) aja sih. jadi rada lupa.
Untuk pertunjukkan yang barusan, menurutku akting para pemainnya bagus2. Suara mereka lantang dan pengucapannya jelas. Emosinya dapet. Teks terjemahan ke Indonesia-nya mantap banget karena yang gue baca dulu teks bahasa Inggrisnya. dan gue tahu susah buat nerjemahin bahasanya Shakespeare ke dalam bahasa Indonesia tanpa menghilangkan emosi para karakternya. Tapi Mas Yudhi (dosen dramaku) kayaknya yang nerjemahin. Walhasil keren deh. No doubt.
Oh ya, dekorasinya juga mantap. Tata suara dan musiknya juga bagus. Kostum dan tata riasnya lumayan. Well done lah pokoknya. Meskipun nggak nonton sampai habis, saya cukup puas nontonnya.
Ya, sekian dulu deh cerita2 dari saya. Besok dilanjutin lagi. Udah malam nih. :)
Amitié ^^ V
PS: kasih saran untuk layout dong. masih gapspot nih (gagap blogspot) XD