Taman Rahasia Karmina (Bagian I)


Pertama

Ini bukanlah kisah pada zaman dahulu kala. Ini kisah yang terjadi di akhir zaman. Bisa di masa depan atau di masa kini. Bisa beberapa tahun, minggu, bulan, atau hari ke depan. Bisa juga hari ini. Tapi tentu saja, ini hanya kisah fiksi.

Pada suatu zaman modern, hiduplah seorang anak perempuan bernama Karmina. Dia tinggal bersama kedua orang tua dan neneknya. Orang tua Karmina bekerja di kantor dan mereka sangat sibuk. Mereka jarang ada di rumah, bahkan lebih sering di luar negeri. Neneknya sudah amat tua karena memang sang nenek jarak usianya juga cukup jauh dari putrinya yang merupakan ibunda Karmina. Kesibukan orang tua Karmina membuat mereka sanggup menghidupi keluarga kecil itu di sebuah rumah yang cukup besar dengan taman yang indah. Kesibukan itu juga yang membuat Karmina lebih sering menghabiskan waktunya di rumah besar tersebut bersama neneknya dan orang-orang yang bertanggung jawab mengurus rumah besar tersebut.

Sang nenek memiliki suatu keinginan yang sangat aneh yang terpaksa dikabulkan oleh Karmina dan kedua orang tuanya. Beliau ingin dipanggil dengan panggilan “Nenek Drina.” Drina adalah nama sang nenek. Tentunya lebih wajar bila beliau ingin dipanggil Nenek Karmina, tetapi wanita tua itu memaksa bahwa dia tidak boleh dipanggil dengan panggilan lain selain “Nenek Drina.”
“Aku suka namaku,” ujar sang nenek, “jadi meski aku sudah nenek-nenek, aku tetap ingin dipanggil dengan namaku.”

Tuanya sang nenek sering membuat dia sering meminta hal-hal yang aneh dan sering kali pikun terhadap hal-hal kecil atau hal-hal yang baru saja terjadi. Tapi, itu tidak masalah bagi Karmina, Nenek Drina adalah orang yang sangat baik dan sering mengajaknya solat berjamaah dan mengajarinya membaca Al Qur’an.

Sejak balita, kehidupan Karmina berkisar di situ-situ saja. Di rumah-rumah saja. Dia juga tidak banyak bicara dan lebih banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh neneknya. Nenek Drina mengajaknya solat berjamaah, baca qur’an, dan memakaikannya jilbab, meskipun ibunya sering kali mengatakan bahwa itu tidak perlu karena Karmina masih kecil. Mereka sempat berdebat beberapa waktu mengenai apakah Karmina sebaiknya memakai jilbab sejak kecil, tapi Nenek Drina-lah pemenangnya karena ayah Karmina lebih setuju dengan pendapat mertuanya.

Saat usianya menginjak 4 tahun, orang tua Karmina memasukannya ke sebuah sekolah bagus yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Tapi karena terbiasa mengunci mulutnya di rumah, maka dia tidak memiliki begitu banyak teman. Dia juga merasa tidak nyaman berada di sekitar orang asing. Jadi, dia hanya datang ke TK saja, mengikuti apa yang disuruh guru, belajar berhitung dan membaca, lalu pulang ke rumah. Di rumah, dia mengikuti apa saja yang dilakukan nenek, solat berjamaah, baca qur’an, dan sesekali mengurus bunga-bunga di taman, lalu paginya pergi ke sekolah. Di hari Minggu pun sama saja. Yang berbeda mungkin hanya satu. Neneknya mengajaknya merangkai bunga dan bermain scrabble untuk melatih kosakata bahasa Inggris.

Teman Karmina, selama beberapa tahun pertama dalam hidupnya hanya Nenek Drina saja. Tentu dia berterima kasih dengan juru masak di rumahnya yang memberinya makanan-makanan enak dan pada satpam yang menjaga rumahnya, serta pak supir yang sering mengantarnya pergi ke TK, meskipun jarak antara rumah dan sekolahnya dapat ditempuh dengan berjalan kaki meski memakan waktu lebih lama. Tapi menjadikan mereka teman? Tentu tidak.

Suatu hari, karena mulai merasa kesepian, Karmina meminta izin pada orang tuanya agar dia dapat memelihara salah satu kucing jalanan yang berkeliaran di sekitar rumah untuk dijadikan sahabat. Tentu saja permintaan izin ini dilakukan ketika orang tuanya ada di rumah, dan itu jarang sekali terjadi. “Sahabat? Seekor kucing jalanan?” tanya ibunya sambil mengernyitkan dahi.
Karmina hanya mengangguk.

“Nak, kucing jalanan itu liar, suka buang air sembarangan. Nanti kalau merusak taman nenek bagaimana?” sang ibu bertanya.
Belum sempat Karmina menjawab, ayahnya sudah menambahkan dengan tegas, “Dan mereka suka mencuri. Meskipun sudah diberi makan, mereka akan tetap mencuri.”

Singkatnya, permintaan Karmina ditolak. Sebagai ganti untuk menebus kekecewaan putrinya, kedua orang tua Karmina membelikannya boneka hewan yang banyak. Ada kelinci, babi, kodok, singa, dinosaurus, paus, kelinci lagi, dinosaurus lagi, badak, dugong, paus lagi, anteater, penguin, tupai, koala, kelinci lagi, keledai, sapi, dan gurita. Tapi tidak ada kucing. Sekian banyak boneka ini tidak dapat menghibur kesedihan Karmina yang tidak dapat memiliki sahabat seekor kucing.

Sebagai seorang manusia yang baru pertama kali merasakan hilangnya harapan dan tak tercapainya keinginan di dunia ini, tentu Karmina sedih sekali. Layaknya anak-anak normal lainnya, dia pun menangis. Sayangnya, tangisannya begitu lantang melampaui tangisan anak-anak pada umumnya.

Saat Karmina sedang menangis itu, orang tuanya sudah berangkat kerja membiarkan anaknya menikmati kamar penuh boneka dengan penuh keputusasaan. Tangisan itu begitu memilukan hingga juru masak, satpam, dan pak supir pun pusing mendengarnya. Tidak ada satu pun di antara mereka yang berhasil mendiamkan gadis kecil malang itu, bahkan meski sudah diberikan cokelat dan balon. Tangisannya malah bertambah lantang hingga semua tetangga mendengar. Semua mendengar kecuali Nenek Drina. Pendengarannya sudah terganggu dan dia sedang asyik merawat bunga matahari, lily, deasy, dan anggrek yang ada di tamannya. Dia menyangka suara sayup-sayup yang terdengar di telinganya adalah adzan yang memang berkumandang beberapa saat sebelum Karmina menangis. Nenek Drina hanya bergumam, “lama sekali adzannya. Dari tadi nggak selesai-selesai.”

Ketika dia masuk ke dalam rumah, barulah Nenek Drina mendengar lengkingan suara Karmina. Nenek Drina menghampiri Karmina di kamarnya yang sedang dikelilingi juru masak, satpam, dan pak supir yang sejak dari tadi terus gagal mendiamkannya. Nenek Drina memberi isyarat pada mereka bertiga untuk meninggalkan kamar itu dan mengambil alih tugas untuk mendiamkan cucunya.
“Kenapa sayang? Cep... cep..” ujar Nenek Drina sambil memangku Karmina. “Ini bunga untukmu.”

Nenek Drina memberikan sebuah vas berisi bunga dari tamannya yang telah dirangkai dengan rapi. Karmina berhenti menjerit melihat bunga itu, tetapi tidak menyentuhnya, dan masih berusaha menahan air matanya yang masih terus keluar.
Melihat cucunya tidak terlalu bersemangat dengan vas berisi bunga itu, Nenek Drina meletakannya di meja tulis Karmina yang terletak di sebelah tempat mereka duduk. “Ya sudah, kamu mau apa?” tanya Nenek Drina.

“Aku ngantuk, Nek,” jawab Karmina yang nampak sudah kelelahan menangis.
“Ya sudah. Nanti kamu tidur siang. Tapi solat Dzuhur berjamaah dulu sama Nenek. Tadi kayaknya Nenek sudah dengar suara adzan.”
Karmina pun menghapus air matanya dengan air wudhu dan solat berjamaah dengan sang nenek. Kesedihan di hatinya belum terhapus, sehingga setelah solat, dia meminta pada Allah agar diberikan sahabat seekor kucing hidup, bukan hanya boneka.

Setelah solat, Karmina langsung melompat ke tempat tidur dan menarik selimut. Nenek Drina yang melihat itu langsung menegur, “Sebelum tidur, wudhu lagi.”
“Kenapa, nek? Wudhu kan hanya untuk sebelum solat?” tanya Karmina yang sudah lelah dan buru-buru ingin tidur.
“Karena Rasulullah solallaahu alaihi wasallam berwudhu sebelum tidur,” jawab Nenek Drina singkat.
Karmina bingung. Dia sering mendengar nama Rasulullah atau Muhammad disebut oleh Nenek Drina dan kedua orang tuanya. Tapi dia belum paham mengapa orang ini harus selalu ditiru semua tindakannya. Tapi, karena Karmina terbiasa diam dan mengikuti neneknya, maka dia menurut saja.

Setelah menemani Karmina berwudhu, Nenek Drina mengantar cucunya ke tempat tidur dan berkata, “Sebelum tidur, baca doa. Lalu baca surat Al Ikhlas, An-Naas, dan Al Falaq masing-masing tiga kali.”
Karmina terdiam karena tidak mengerti.
“Kalau baca itu, Insya Allah bisa bermimpi indah. Mimpi keinginan-keinginanmu menjadi nyata,” ujar Nenek Drina lagi.
Mendengar itu, Karmina langsung menurut. Dia sangat ingin bahkan dalam mimpi saja dapat memiliki sahabat seekor kucing yang hidup. Bukan boneka.


Bersambung


Dari Utsman bin Affan rodhiallaahu’anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah solallaahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang wudhu’ dan menyempurnakan wudhu’-nya, niscaya dosa-dosanya akan keluar termasuk keluar dari bawah kuku-kukunya.” (HR. Muslim)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerita Fiksi Mu'bah, dengan Syarat...

Alhamdulillaahirobbil'aalamiin. Setelah membaca beberapa referensi dari fatwa2 ulama, ternyata sebagian besar memperbolehkan membaca dan menulis cerita fiksi, dengan syarat tidak melalaikan dari amalan wajib, hanya mengajak/mencontohkan akhlak2 mulia (tidak mengajak pada hal2 buruk), dan semua orang yang membaca harus sadar bahwa itu adalah fiksi.

Hal ini berdasarkan hadits berikut: Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” (HR Ahmad, Abu Daud dll). Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah terdapat tambahan, “Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita Bani Israil terkandung cerita-cerita yang menarik”. Tambahan Ibnu Abi Syaibah ini dinilai sahih oleh Al Albani.

Namun beberapa dari ulama Hanafi memang memakhrukhkannya karena mirip dengan dusta dan mengharamkannya bila melalaikan dari amalan2 wajib.

Semoga aku bisa tetap menulis fiksi tanpa melalaikan dari amalan wajib dan semoga fiksi yang akan kubuat bermanfaat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS