Setelah diberi kesempatan oleh Allah subhanallaahu wata'alaa untuk menenangkan diri dari masalah2 hidup di Australia dan memutuskan untuk kembali ke Islam dengan sebenar-benarnya kembali, ada banyak yang berubah tentunya dari hidup saya. Melihat kembali tulisan-tulisan saya beberapa tahun yang lalu, dulu saya masih menyandarkan perasaan saya atas kesamaan pandangan dengan beberapa orang kafir (ya, saya tidak akan ragu lagi menyebutnya: mereka kafir. bukan Muslim. tidak percaya pada Allah, Tuhan yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, yang berbeda dengan makhluk-Nya). Dulu saya sangat menyukai tokoh-tokoh, yang umumnya musisi, yang saya rasa meneriakkan suara hati saya, seperti Kurt Cobain, Thom Yorke, Kate Nash, atau musisi2 barat lain yang berani berteriak lantang akan hal2 yang tidak berani diteriakkan orang lain.
Dengan bangga mereka dengan jujur menyatakan ketidaksukaan mereka akan banyak hal di dunia ini, termasuk terhadap diri mereka sendiri. Dan karena kejujuran itu dulu seolah2 begitu indah di penglihatan dan pendengaran saya, saya merasa kenegatifan2 mereka adalah kebenaran yang tidak dapat disangkal. Dan karena kekaguman saya pada mereka itulah, saya ragu untuk lantang menyatakan kebenaran-kebenaran lain tentang dunia ini. Bahwa non Muslim adalah kafir. Bahwa sistem kehidupan yang membelenggu kita sekarang, kapitalisme, demokrasi, dan sebagainya, tidaklah sempurna dibandingkan sistem kehidupan yang sudah diberikan Allah subhannallaahu wata'alaa pada kita: Islam.
Sejak dulu selalu ada pertentangan dalam diri saya bahwa cara berpikir saya terhadap dunia ini sama dengan orang2 kafir di negeri barat itu. Seperti Kurt Cobain, saya sering merasa membenci manusia secara umum, termasuk diri saya sendiri. Seperti Thom Yorke, kadang saya merasa bosan dengan kepalsuan-kepalsuan yang ada di dunia ini, tapi saya sendiri tidak tahu bagaimana cara menemukan sesuatu yang "asli." Dulu saya seperti Kate Nash yang ingin dengan mudah memaki orang2 di tempat dia belajar dan mengeluhkan mengapa orang tua tidak pernah memahami sifatnya dan hal2 yang dia inginkan. Lalu seperti mereka semua, saya mencari pembenaran-pembenaran atas penderitaan-penderitaan yang saya alami agar manusia lain dapat mewajari mengapa saya begitu tersesat dan tidak bahagia. Lalu seperti Gotye, mungkin saya seperti ketagihan untuk merasakan kesedihan bodoh yang sama lagi dan lagi.
Tapi saya tahu pikiran2 itu sebagian besar salah. Karena saya tahu ada orang yang mengalami penderitaan jauh lebih besar daripada yang saya alami, tapi dia tidak menyerah untuk bunuh diri seperti Kurt Cobain, tidak melontarkan kata-kata kasar seperti Kate Nash, tidak mabuk seperti Alex Turner, tidak memutuskan telanjang di depan umum dan menganggapnya seni seperti Gotye. Sebaliknya, orang ini muncul bagai bintang penerang di gelapnya malam bagi daratan dan lautan, sebagai pemberi petunjuk bagi segenap manusia, meluruskan hal2 yang dibengkok2an manusia, dan membuktikan pada dunia bahwa kecintaan pada Tuhan semesta alam itu tidak dapat dipisahkan dengan kecintaan pada makhluk-Nya. Orang itu adalah Rasulullah solallaahu wa'alaihi wassalam. Orang yang kalau bukan dia yang menyebarkan Islam di muka bumi ini, mungkin saya sudah meninggalkan Islam sejak lama karena Islam melarang banyak hal duniawi yang saya sukai.
Saat di Australia itu, saya ingin lebih memahami Islam dari sudut pandang Rasulullah, setelah sekian lama saya menerima intervensi sudut pandang dari pihak2 lain yang ingin menyesuaikan Islam dengan pandangan mereka. Mungkin mereka hanya seperti saya dahulu, ingin melakukan pembelaan-pembelaan pada kesalahan-kesalahan yang dilakukan dan ingin dipahami oleh orang lain. Tapi setelah melihat bagaimana akibatnya beberapa orang terdekat dalam hidup saya tergelincir akibat justifikasi2 semacam ini dan meninggalkan Islam, saya memutuskan saya tidak mau lagi memahami Islam semau2 saya. Saya ingin memahami Islam dari seperti apa yang dibawakan oleh Rasulullah solallaahu 'alaihi wassalam. Dari seperti apa yang diwahyukan oleh Allah Subhanallaahu wata'alaa. Saya ingin tahu langsung dari sumber aslinya, dan bila saya salah dalam memahami Islam selama ini, saya ingin tahu di mana letak kesalahannya, dan saya ingin memperbaiki diri. Karena satu hal yang saya yakini benar bahwa dunia ini adalah "fake plastic world," "penjara", dan meskipun saya sering mengalami kegagalan dalam hidup ini, saya suatu saat nanti harus bisa berhasil kembali pulang ke tempat asal saya, di sisi Robb saya.
Dan setelah perjuangan memurnikan kembali pemahaman saya terhadap Islam itu, yang terlalu panjang bila diceritakan di sini, saya mulai menyadari bahwa menjadi seorang Muslim adalah perjuangan untuk "menyerah." Dengan kata lain, "menyerahkan" impian dan hasrat-hasrat duniawi yang tidak diridhoi Allah subhanallaahu wata'alaa dan menggantinya dengan memperjuangkan apa yang diridhoi Allah.
Saya mulai belajar meninggalkan musisi2 yang saya kagumi itu, seberapapun berkesannya mereka bagi saya karena saya harus memilih kata-kata kebenaran di Al-Qur'an yang membangkitkan saya untuk melihat kenyataan yang sebenarnya daripada memilih memanjakan diri dengan lirik-lirik lagu yang seolah menyamankan saya dan berkata "You're not alone, other people do these kinds of mistakes too." Ya, memang saya bukan satu2nya yang berbuat kesalahan, tapi itu bukan alasan bagi saya untuk tenggelam di kesalahan yang sama dan tidak berubah menjadi Muslim yang baik.
Yang terpenting dibanding itu semua adalah, saya belajar mengoreksi diri saya sendiri. Mencari kesalahan lain apa yang harus saya perbaiki sebagai seorang Muslim. Kecintaan saya pada hal apa lagi yang seharusnya ditinggalkan. Kebencian saya pada hal apa lagi yang seharusnya saya ubah menjadi cinta. Percayalah, sebelum memutuskan kembali pada Islam, saya sangat benci hablumminannaas. Saya benci sikap manusia yang selalu berdosa lalu kemudian menyalah2kan Tuhan atas bencana yang ada. Kalau di dunia ini hanya boleh habluminallah dan hablumminalalam, tanpa menjalankan silaturahim, saya bahagia sekali. Tapi itu hanya suatu pelarian diri dari kenyataan bahwa Allah memerintahkan saya untuk bersilaturahim dengan manusia. Jadi saya pun mulai memperbaiki kehidupan saya dengan manusia2. Meski saya jg menjaga jarak dgn beberapa orang yang saya tahu memberi dampak negatif pada saya dan menjauhkan saya dari Allah.
Jd Alhamdulillah atas pencarian ini. Saya akan terus berusaha berjuang untuk menyerah. Berjuang untuk mengikhlaskan hal2 yang saya sukai di dunia ini, hanya demi Allah.
Dan sekarang sudah dipanggil Ibu. Perintah Allah juga nih. :))
Refleksi
Fatih Seferagic
Kali ini saya akan memperkenalkan seorang pemuda Muslim yang menginspirasi saya untuk lebih mendalami Al-Qur'an dan menjauhi musik (please jgn bilang saya fanatik. Musik2 jaman sekarang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Ayo, ngaku! :P)
Menurut beberapa orang yang sudah mendalami Islam, cara mutakhir melepas ketergantungan dari musik adalah dengan sering-sering mendengarkan bacaan Qur'an. Tapi ya masalahnya kadang2 saya tidak tertarik mendengarkan bacaan Qur'an bila bacaannya tidak indah.
Alhamdulillah beberapa bulan yang lalu (mungkin setahun yang lalu), saya mulai cari di Youtube bacaan2 bagus dari hafidz2 terkenal di dunia. Salah satu dari mereka yang paling berkesan dari saya adalah Fatih Seferagic. Dia lahir pada bulan Maret 1995 di Jerman dari orang tua keturunan Bosnia. Sekarang dia tinggal di Houston, Texas, Amerika dan menjadi guru ngaji, selain juga jagain tempat yang sering jd venue skating/hoki (nggak tahu istilahnya). Fatih telah menyelesaikan kuliah program Hafidz Qur'an dan Bahasa Arab di Islamic Society of Baltimore. Dia mulai hafalan dari usia 9 tahun dan berhasil menghafalnya pada usia 12 tahun. Sekarang Fatih sering jadi imam solat di masjid2 di Amerika Serikat dan Kanada.
Karena adanya hafidz muda inilah, saya jd terpacu untuk kembali memperbanyak hafalan Qur'an. Maybe it will take me forever to read the whole Qur'an, maybe I will never be a hafidzah, but it's really worth trying considering a younger person like Fatih could manage to do so.
Bantuan Untuk Suriah, Rohingya, dsb
Seperti biasa, untuk hal-hal seperti ini saya tidak mau berbasa-basi. Mari bantu saudara2 kita yang sedang kesusahan di Suriah. Mereka kehilangan keluarga, tempat tinggal, tidak sedikit anak2 mati karena cuaca dingin atau karena dibunuh oleh tentara2 pemuja Bashar Al-Assad yang kejam.
Ada beberapa hal yang mengkhawatirkan saya karena ada tendensi media2 mainstream menutup2i konfilk yang terjadi di Suriah dan bahkan banyak saudara sesama Muslim yang kurang lantang meneriakkan hal yang terjadi sebenarnya. Mungkin banyak yg berpikir bahwa konflik di Suriah hanyalah konflik rezim otoriter yg dicampurtangani asing dan ini hanya sekedar Muslim vs Muslim, sehingga kepedulian terhadap Suriah cenderung tidak sebesar kepedulian pada Palestina dan beberapa kasus lain.
Sungguh bukan saya ingin memaksa orang berinfak dan tidak pula saya ingin menghasut dan memecah belah Muslim dengan membanding2kan Suriah dan Palestina atau Muslim di tempat lain. Saya hanya mengingatkan bahwa Muslim itu saudara. Di mana saja saudara kita berjuang melawan kezaliman dan mempertahankan aqidah, baik itu di Palestina, Suriah, Mali, Myanmar, Thailand, dsb, sudah sepantasnya kita bantu. Bila tidak mampu berinfak, setidaknya sematkan doa untuk mereka di setiap habis solat kalian. Kekuatan doa itu tidak dapat diremehkan.
Bagi yang bisa berinfak, mari sumbangkan bantuan ke:
atau bisa juga lewat organisasi2 yg turut membantu Suriah seperti ACT: http://actforhumanity.or.id/site/home
Atau bisa jg lewat penyalur2 dana ke Suriah yang ada di luar negeri seperti ini: http://www.muslimaid.org/index.php/get-involved/donate-online (di sini bisa juga sumbang untuk yang di Mali, Rohingya, Palestina, dsb).
Atau di sini: http://www.syriareliefanddevelopment.org/
Jalan-Jalan (Eh salah), Simposium di Brisbane
Assalamu'alaikum warrohmatullaahi wabarokaatuh! Pemirsa sekalian, hadirin yang terhormat, bapak2 ibu2 kakak2 adik2....
Selamat berjumpa kembali di blog ini....
Stop.
Baiklah, langsung saja, saya akan menceritakan pengalaman saya sekitar seminggu lalu ketika presentasi untuk Discourse and Narrative Symposium di University of Queensland. Sebenarnya UQ letaknya di St. Lucia, tapi tentunya saya harus tinggal di Brisbane dulu yg paling deket bandara internasional di sana (bayangkanlah St. Lucia itu adalah Ciputat, sedangkan Brisbane adalah Jakartanya).
Dalam simposium kali ini, saya mempresentasikan bidang yang saya kuasai (akhirnyaaa) yaitu Analisis Wacana. Dan karena tema yang diangkat adalah "Stigma and Exclusion," maka tentunya saya bahas tentang Islam, identitas diri yang saya tahu paling mendapat banyak stigma negatif dan memiliki eksklusifitas tersendiri. Saya tidak bisa menerangkan lebih lanjut mengenai inti dari presentasi dan paper saya karena full paper-nya belum selesai dan nantinya katanya akan diterbitkan sebagai jurnal. Jadi, baca saja jurnalnya ya. hohoho.
Simposium kali ini lebih berhasil dibanding presentasi2 saya di konferensi2 yang pernah saya ikuti pada tahun 2012. Mungkin karena saya sudah mulai punya pengalaman, jadi tidak terlalu tegang dan karena ini memang bidang yang saya kuasai sejak S1: Analisis Wacana, Semantik, Pragmatik, Budaya. Feedback dari audiens juga banyak dan bagus. Aku suka sekali.... Kupikir tadinya kalau bahas Islam dari sudut pandang sunni, aku akan dimaki2... Hahaha... ternyata tentu tidak. Aku terlalu suuzon. :))
Yang menyenangkan dari simposium kali ini adalah karena saya mengikutinya bersama teman saya yang lagi S3 di UI, Melody Violine. Dia juga presentasi di simposium itu tapi kalau soal apa yang dia presentasikan, tanya ke dia aja ya. Hohoho.
Jadilah saya dan Melody jalan2 dan foto2 di Brisbane, kota besar di Australia yang iklimnya mirip Indonesia (kasihan Melo. Kota Australia pertamanya justru tdk ada perubahan cuaca. haha). Sempet nyasar berkali2 di City waktu mau belanja oleh2. Lalu kita juga gempor jalan kaki dari hotel ke City karena ternyata jalanan di Brisbane itu TANJAKAN aja booo.....(Pantas mereka terlihat lebih langsing dari warga Canberra).
Berikut ini adalah foto2 saya dan Melody ketika di Brisbane: