Tak Bisa Lepas
Oleh: Rima Muryantina Juara 1 Lomba Cerpen kaWanku 2005
Pak Jaya Suprana yang terhormat,
Dengan ini saya akan membalas pertanyaan-pertanyaan Bapak tentang benda yang tak bisa saya lepaskan dari punggung saya selama 40 tahun. Semoga dengan penjelasan berikut ini, Bapak bersedia memasukkan pengalaman hidup saya sebagai salah satu pencetak rekor di MURI.
Saya seorang wanita berusia 56 tahun. Nama saya Chandrika. Nama yang agak aneh bukan, Pak? Itu adalah nama Sri Langka. Ibu saya keturunan Sri Langka. Meskipun sampai saya setua ini, saya tak pernah mengerti apa arti nama Chandrika. Saya juga tak tahu sedikit pun tentang bahasa Sinhala, bahasa resmi negeri kecil itu.
Sejak kecil, kehidupan keluarga saya baik-baik saja. Kadang-kadang memang ada hambatan seperti sedikit pertengkaran dengan adik-adik saya. Atau mungkin omelan dari suara nyaring nenek saya yang kerap kali merusak kinerja gendang telinga saya. Atau bisa jadi beberapa nilai-nilai jelek yang saya dapat di sekolah, itu pun hanya satu atau dua kali saja. Selebihnya, saya dulu adalah salah satu manusia paling beruntung di dunia. Dan saya sangat bersyukur karenanya.
Orang tua saya, sejak dulu adalah orang tua yang tegas dan disiplin. Tapi mereka tidak kasar. Tidak marah bila tidak alasan. Dan saya, tentu saja, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan satu alasan pun yang bisa membuat mereka marah terhadap saya dan adik-adik saya. Orang tua saya juga berkecukupan. Mungkin tidak sekaya pejabat-pejabat tinggi negara, ya tapi paling tidak kami termaksud golongan menengah ke atas. Dan meskipun hidup berkecukupan, orang tua saya tetap peduli pada orang-orang lain yang tidak seberuntung kami. Itulah yang paling saya syukuri selama hidup saya. Memiliki orang tua yang tidak ragu mengulurkan tangan pada orang lain.
Prestasi belajar saya sejak kecil normal saja. Memang tidak pernah mendapat peringkat pertama, tetapi Alhamdulillah, selalu mendapat peringkat 10 besar. Di sekolah saya memiliki banyak teman. Teman-teman yang saya percaya. Teman-teman yang selalu membawa kebahagiaan bagi saya. Teman-teman yang selalu menjaga perasaan saya.
Saya juga memiliki beberapa keahlian. Seperti main biola dan modelling. Memang kemampuan bermain biola saya masih kalah dengan Idris Sardi, kemampuan modelling saya juga tidak sehebat Ratih Sanggarwati. Tapi setidaknya saya memiliki sedikit bakat dalam kedua bidang itu.
Beruntung…. Sangat beruntung. Itulah saya semasa belia. Kadang terlintas juga di kepala saya, apakah mungkin ada seseorang atau mungkin banyak orang yang tidak suka dengan keberuntungan yang saya dapat ini? Kadang memang terlintas pertanyaan-pertanyaan “GR” seperti itu. Ya, tapi hal itu tidak apa. Asalkan hal-hal yang saya lakukan tidak menyakiti teman-teman dan keluarga saya. Asalkan begitu, saya akan merasa baik-baik saja.
Suatu hari, di saat saya masih berusia 16 tahun, saya menyukai seorang laki-laki. Laki-laki yang populer dan sangat tampan. Setidaknya ya… untuk ukuran tahun 60-an. Sebut saja namanya George. Karena dia setampan George Harrison, menurut saya. Dia juga jago main gitar seperti George Harrison. Itulah sebabnya saya makin menyukainya. Karena dia mencintai musik, sama seperti saya.
Setelah beberapa bulan saling mengenal, akhirnya George meminta saya menjadi kekasihnya. Saat itu saya tidak langsung menerima, karena saya tahu banyak teman-teman saya yang mengagumi George. Seperti yang saya bilang tadi, saya paling takut menyakiti perasaan teman-teman saya. Saya tak mau hubungan saya dengan teman-teman saya lebur begitu saja hanya karena masalah laki-laki.
Saat saya tanyakan hal ini pada teman-teman saya, Alhamdulillah, reaksi mereka sangat positif. Meski ada juga yang bermuka tak semangat dalam menanggapinya, tapi setidaknya tidak ada dari teman-teman saya berwajah kesal mendengar kabar ini. Mereka malah mendukung saya.
“Aduh, Chan! Terima aja! Tunggu apa lagi?”
“Chandrika, sayang! Betapa beruntungnya kamu! Semoga awet ya kalian berdua!”
“Chandrika payah banget, sih? Kenapa nggak langsung diterima?”
“Aduuh… Kalian tuh pasangan yang “perfect” banget, Chan!”
“Kalau George sama Chandrika, aku ikhlas, deh!”
Sejenak, hati saya lega. Saya terima pernyataan cinta dari George. Dalam beberapa hari, hubungan kami pun terasa begitu indah. Dan selama itu, keadaan berjalan sangat lancar. Semuanya baik-baik saja. Sekali lagi, saya merasa seperti manusia yang paling beruntung di dunia.
Tapi di tengah-tengah keadaan bahagia itu, terjadi hal yang mengejutkan yang mengubah kehidupan saya 180 derajat. Bagaikan benda yang dilempar ke atas, kebahagiaan saya yang begitu cepat meningkat ke atas akhirnya mencapai titik puncak secara mendadak. Titik puncak yang memilki kecepatan sama dengan nol itu pun sekejap berubah menjadi titik balik. Dari titik balik itu saya terhempas dengan sangat cepatnya ke bawah. Saya jatuh bebas. Sampai tanah.
Pada saat itu, saya dan George sedang berjalan-jalan di halaman sekolah. Kami berjalan di tengah-tengah banyak orang. Namun tak ada yang mengganggu kami dan tak ada juga yang merasa terganggu dengan keberadaan kami. Pada saat itulah titik balik itu muncul. Sebuah tangan, entah tangan siapa, memegang pisau tajam menikam saya dari belakang. Saya pun jatuh tersungkur. Darah mengalir dari punggung saya. George ketakutan melihat saya.
Saya menoleh ke belakang. Yang saya lihat adalah wajah teman-teman saya. Wajah teman-teman yang saya percayai. Mereka melihat saya dengan pandangan yang sama. Pandangan yang bercampur antara rasa bersalah dan ketakutan.
Dalam keadaan sekarat itu saya bertanya pada mereka, “Siapa…? Siapa yang melakukannya?” Mereka menggeleng. Tak satu pun mengaku. Dengan penuh ketakutan semua teman-teman saya itu berkata berkali-kali, “Bukan aku!”
Berkali-kali mereka katakan hal itu. Tapi tak ada satu pun yang menolong saya. Sampai akhirnya saya kehilangan kesadaran. Dan ketika sadar, saya sudah berada di rumah sakit. Kata orang tua saya, yang menolong saya saat itu adalah guru-guru saya.
Saya tak percaya bahwa saya masih bisa hidup saat itu. Dan saya sangat bersyukur karenanya. Tadinya saya pikir pisau itu sudah berhasil dicabut oleh dokter. Saya pikir karena itulah saya masih bisa selamat. Tapi nyatanya, pisau itu belum bisa dicabut. Bahkan dengan operasi sekalipun. Bahkan di saat darah saya sudah tidak mengalir lagi, pisau itu tetap saja tak bisa dicabut. Saya tidak merasa sakit lagi, tapi pisau itu tetap saja tak bisa lepas dari punggung saya.
Sungguh aneh, memang. Pisau ini tak menyebabkan kerusakan tertentu pada organ tubuh saya. Dia terus menancap. Tapi sejak darah itu berhenti, dan rasa sakit itu berhenti, pisau itu tidak pernah lagi melukai apapun dalam tubuh saya. Paling-paling hanya rasa nyeri sedikit dan kenampakan tubuh saya jadi tidak normal.
Sejak itu, pisau aneh yang tak bisa lepas dari punggung saya itu selalu menemani aktivitas kehidupan saya. Saya tidak bisa lagi memakai baju tipis. Sebab baju itu pasti akan bolong di bagian tempat pisau itu menancap. Dan kalau pun baju yang saya pakai tebal, saya malah jadi terlihat seperti Hunchback of The Notre Dame.
Gara-gara pisau itu, saya jadi tidak bisa berdesakan di dalam bus yang padat. Kalau duduk, saya tak bisa bersandar lagi. Kalau tidur, saya harus tengkurap. Tentu saja, sebab ukuran punggung saya jadi lebih besar dari biasanya. Oh, ya kecacatan saya ini juga menimbulkan cercaan dan makian dari beberapa orang. Saya jadi tidak bisa ikut modelling lagi. Tak ada lagi tawaran untuk menjadi model. Sekali-kalinya ada tawaran, malah tawaran untuk main di film horor. Jelas saya tolak. Itu kan pelecehan.
Beraneka ragam cara saya lakukan untuk melepaskan cengkraman pisau ajaib itu dari punggung saya. Mulai dari operasi, sampai cara manual. Semuanya gagal. Saya putus asa. Penderitaan dengan cacat di tubuh ini sudah terlalu lama. Bila tidak melampiaskannya pada seseorang, rasanya saya bisa gila. Akhirnya, saya putuskan untuk mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas insiden yang saya alami ini.
Waktu itu, ada beberapa nama yang menjadi “tersangka” dalam penyelidikan saya. Sebagian besar dari mereka adalah teman-teman saya. Awalnya saya mendatangi mereka dengan berani. Menunjukkan bukti-bukti yang kuat yang menyebabkan mereka layak menjadi tersangka. Tapi apa yang terjadi, Pak Jaya? Saya malah jadi tidak tega. Pembelaan diri mereka terdengar begitu tulus. Begitu halus.
“Chan, nggak mungkin lah kita berbuat itu ke kamu. Kita semua sayang sama kamu… Kita ngerti penderitaan kamu. Tapi sudahlah, Chan. Mungkin ini memang nasib kamu. Untuk apa menuduh kami sebagai pelakunya sedangkan kami ada di sini untuk meringankan penderitaan kamu…”
Hhh… Siapa yang tidak luluh dengan kata-kata seperti itu? Sesuai dengan keinginan mereka, saya pun berhenti menuduh. Namun kenyataannya, tak lama setelah saya percaya lagi pada teman-teman yang saya cintai itu, satu per satu dari mereka malah pergi menjauhi saya. Pergi meninggalkan saya. Di masa-masa terberat dalam hidup saya.
Waktu terus berlalu. Hingga akhirnya saya menyadari bahwa teman-teman saya telah lama melupakan saya, hidup bahagia dengan teman-teman baru mereka, dan pekerjaan baru mereka. Menjadi model, menjadi sekretaris, menjadi aktris, menjadi penyanyi. Sementara saya sendiri, hanya menjadi musisi latar dalam album-album mereka. Tak pernah tampil di atas panggung. A backstage girl.
Saya juga baru menyadari bahwa si tampan duplikat George Harrison itu sudah menikah dan memiliki 5 orang anak. Dia tak peduli sedikit pun tentang saya. Ya, saya pun juga sudah tak begitu peduli lagi padanya.
Saya sendiri, di sini. Menua seorang diri. Ditemani oleh pisau di punggung saya yang nampaknya juga sudah berkarat, tapi tak sedikit pun merusak organ tubuh saya. Menjadi seorang musisi latar yang hidup sederhana di rumah yang sederhana. Hanya keluarga saya saja… Dan orang-orang baik saja yang bisa menerima saya apa adanya. Tapi selama orang-orang baik berhati tulus itu masih ada di dunia ini… Saya akan baik-baik saja. Dan sekarang pun, saya masih merasa bahwa saya adalah orang paling beruntung di dunia.
Saya sudah tak memiliki keinginan untuk melepaskan pisau ini, ataupun keinginan untuk mengungkap pelaku yang menyebabkan saya jadi begini. Biarkan saja “Si Pisau Ajaib” tetap seperti ini. Supaya saya selalu mawas diri agar tak tertusuk lagi untuk yang kedua kalinya.
Tapi untuk yang terakhir kali, Pak Jaya… Saya mohon tolong catat kisah hidup saya ini dalam Museum Rekor Indonesia. Biar tak ada lagi orang yang tertusuk dari belakang. Seperti saya….
Hormat saya,
Chandrika
Jakarta, 1 Juli 2005
Pengaduan Panca Indera
Oleh: Rima Muryantina
Dimuat di majalah GADIS (21 April -1 Mei 2005)
“Katakanlah padaku, wahai Mata-ku. Mengapa kau terpejam?” tanya Putra terhadap matanya sendiri.
“Aku letih melihat dan menangis,” jawab si Mata.
“Apa yang kau lihat?” tanya Putra lagi.
“Yang kulihat adalah kekerasan. Aku letih melihat orang memukul seenaknya. Aku letih melihat orang mau saja dipukul seenaknya. Aku letih melihat orang saling memukul….”
“Lantas apa yang kau tangisi?”
“Yang kutangisi adalah diriku yang tak bisa berbuat apa-apa untuk menghapus tontonan-tontonan kekerasan itu dari pandanganku….”
“Siapa yang mempertontonkan itu padamu?”
“Namanya Tradisi.”
“Siapakah ia?”
“Tradisi itu adalah suatu makhluk kecil. Tapi ia kuat dan bisa memimpin, mengayomi, dan merekrut banyak orang untuk melakukan hal-hal yang ia inginkan.”
“Jadi kau memilih untuk terpejam?” tanya Putra lagi. Si Mata tak menjawab. Putra memegang matanya penuh pengertian dan rasa iba. “Wahai Mata-ku, terpejamlah. Sungguh hanya padaku kau menceritakan penderitaanmu. Maka kuizinkan kau terpejam.”
Tiba-tiba salah satu panca indera lain di tubuh Putra, Telinga menjerit padanya. “Hai, Putra! Jika kau biarkan Si Mata terpejam, maka izinkanlah aku tertutup juga. Mata bisa memejam sendiri. Aku tak dapat menutup lubangku sendiri!”
Putra bertanya pada Telinga, “Apa yang menyebabkanmu ingin sekali tertutup?”
“Aku letih mendengar hingar bingar. Gendangku terasa sakit sekali. Congek yang ada di sisiku pun tak dapat menyembuhkan rasa sakit itu!” adu Telinga penuh emosi.
“Hingar bingar apa itu?” Putra bertanya lagi.
“Hingar bingar makian. Hingar bingar cacian. Dipenuhi dengan kata-kata kasar serta ancaman. Suara orang dipukul, suara orang meronta. Suara barang dipecahkan. Suara barang dijatuhkan. Suara robekan baju dan jaket. Semua suara itu membuatku menderita!! Jangan kau pikir Si Mata saja yang menderita! Aku juga menderita!”
“Siapa yang memperdengarkan suara-suara itu padamu?” tanya Putra penasaran.
“Tradisi,” jawab Telinga.
Putra terdiam sejenak. Kemudian ia mengambil walkman dari tasnya. Diambilnya kaset album kompilasi Get Free Volume 2 yang baru saja ia beli. Dimasukkannya kaset itu ke dalam walkman. Ditekannya tanda play di walkman tersebut. Dan diletakannya earphone yang terhubung dengan walkman tersebut di telinganya. “Istirahatlah, wahai Telinga-ku. Aku tahu lagu-lagu ini adalah lagu-lagu kesukaanmu. Maka nikmatilah sepuasmu. Dan kau tak perlu lagi mendengar hingar bingar,” ujar Putra terhadap Si Telinga.
Kemudian Putra termenung sejenak. Menemani Si Mata yang terpejam dan Si Telinga yang sedang mendengarkan nyanyi-nyanyian. Dalam hati Putra mempertanyakan hal-hal yang tak akan terjawab. Siapakah Tradisi itu sebenarnya? Mengapa ia begitu kuat? Sekuat itukah ia sehingga ia bisa menyakiti sekaligus kedua mata dan kedua telinganya? Apakah Si Mata dan Si Telinga sudah melakukan perlawanan pada Tradisi yang merusak ketenangan mereka?
Diam-diam Si Lidah mencuri dengar tanda tanya yang ada di hati Putra. “Hai, Putra! Mana bisa Si Mata dan Si Telinga melawan! Itu tugasku untuk melawan!” seru Si Lidah tiba-tiba. Putra terkejut dengan ucapan Si Lidah.
“Lalu? Sudahkah kau melawannya?” tanya Putra lagi.
“Sudah!” jawab Si Lidah lantang.
“Lalu bagaimana?” tanya Putra lagi.
“Aku sudah berusaha meneriakkan semua ketidaksukaanku pada segala hal yang ditonton oleh Si Mata. Pada segala hal yang didengar oleh Si Telinga. Aku ucapkan semua hal yang menurutku dapat mengusir Si Tradisi. Tapi ia tak kunjung pergi. Ia semakin menjadi. Dan karena ia bisa mengayomi, memimpin, dan merekrut banyak lidah-lidah lain, maka aku kalah bertengkar dengan lidah-lidah tersebut….”
“Akhirnya?”
“Akhirnya aku letih bicara. Maka aku ingin diam,” pinta Si Lidah.
Putra kemudian menutup mulutnya seraya menggigit lidahnya sejenak. “Diamlah, Lidah-ku. Sesungguhnya hanya aku yang mengerti perjuanganmu. Maka biarlah kau beristirahat. Jika kau masih sanggup, senandungkanlah lagu-lagu yang didengar oleh Telinga. Itu juga dapat membantu Mata untuk tertidur pulas….”
Maka Si Lidah pun bersenandung kecil dan pelan. Menyanyikan lagu-lagu yang didengar Si Telinga. Me-ninabobo-kan Si Mata. Putra pun terhanyut tenang bersama ketiga alat inderanya. Tapi kemudian ada suara panggilan yang mengusik ketenangannya.
“Putra!” suara itu memanggil. Putra terkejut. Ia bertanya-tanya. Darimana datangnya suara itu. “Putra, ini aku! Tolong aku!”
“Siapa?” tanya Putra.
“Aku Kulit-mu!”
“Kulit? Kaukah itu? Ada apa?” Putra bertanya dengan nada khawatir. Mencemaskan permintaan tolong yang tadi diajukan Si Kulit. “Apakah kau juga dilukai oleh Tradisi?” tanyanya pada Si Kulit.
“Putra. Ternyata ucapan Si Lidah pada Tradisi dan para pengikutnya membuatku terluka. Lihat! Aku berdarah!” Si Kulit menunjukkan luka-luka yang menggoresnya. Darah banyak keluar dari ujung pori-porinya.
“Tradisi tak puas dengan hanya menyiksa Si Mata, Si Telinga, dan Si Lidah. Tradisi tak suka dilawan. Ia benci perlawanan. Makanya ia menyuruh para pengikutnya untuk memukulku, menusukku, menggoresku! Obati aku, Putra! Sesungguhnya di antara kelima alat inderamu, akulah yang paling menderita!”
Si Mata tiba-tiba mengucurkan air mata melihat luka-luka Si Kulit. “Tolonglah ia, Putra. Aku sudah tak mau menangis lagi….” ujar Si Mata pada Putra. Tiba-tiba Si Lidah yang bersenandung pun akhirnya angkat bicara. “Maafkan aku, Kulit. Ini semua salahku. Seandainya saja aku tak bicara…. Ah, Putra! Pokoknya tolonglah Kulit. Aku kan sudah letih bicara,” ujarnya.
“Ya, Putra. Tolonglah Kulit. Ia sudah terlalu menderita. Aku pun mendengar sendiri suara goresan yang melukai pori-porinya. Suara pukulan yang menghantamnya. Lagu-lagu yang menenangkan rasa ini tak akan dapat menenangkanku bila aku masih mengingat suara-suara pukulan dan goresan yang kudengar,” Telinga juga memohon kepada Putra.
Putra pun berjalan ke arah ruang kesehatan. Di sana, ia mengambil beberapa obat dan perban yang bisa menahan darah yang mengalir di atas Si Kulit. Ia mengobati Si Kulit. Setelah itu direbahkannya tubuhnya ke tempat tidur. Si Kulit beristirahat terbalut perban. Si Mata terpejam. Si Telinga mendengarkan lagu-lagu favoritnya. Si Lidah menyenandungkan lagu-lagu tersebut dengan tenang.
Semua terasa damai. Untuk beberapa lama, Putra tak mendengarkan suara keluhan dari mana pun lagi. Setelah dipikir-pikir, hanya Si Hidung yang belum berkeluh kesah padanya. Putra kemudian iseng bertanya pada Si Hidung, “Hei, Hidung! Kau diam saja dari tadi. Apa kau baik-baik saja?”
Si Hidung tertawa kecil. “Ha ha ha…. Aku Si Hidung yang paling beruntung! Yang kucium hanya bau kentut!” Putra ikut tertawa mendengar pengaduan Si Hidung. Setidaknya ia bersyukur. Masih ada satu alat inderanya yang tidak dibuat menderita oleh Tradisi.
Betapa tenangnya Putra bersama panca inderanya. Si Mata terpejam. Si Telinga mendengar lagu. Si Lidah bersenandung. Si Kulit beristirahat terbalut perban. Dan Si Hidung mencium bau…. Yah meskipun bau tak sedap, tapi setidaknya tidak membuatnya terlalu tersiksa.
Tiba-tiba, di tengah kedamaian itu, Si Hidung menjerit. “Aduh!” seru Si Hidung. Sekejap Si Mata terbuka. Si Telinga mendengar. Si Kulit merasa sakit lagi. Dan Si Lidah bertanya, “Ada apa Hidung?”
Putra sendiri dalam hatinya juga bertanya, “Ada apa Hidung? Apa kau mencium sesuatu yang tidak kau sukai?”
“Aku mencium darah! Iiiih! Aku tak suka bau darah! Jijik!” jerit Si Hidung. “Putra, tolong sumbat lubangku! Lebih baik aku disumbat dengan 1 liter virus influensa daripada harus mencium bau darah!”
“Pasti ulah Tradisi!” bentak Si Lidah.
“Iih…. Tradisi lagi, Tradisi lagi!!” Si Mata mulai menangis.
“Aku tak mau dengar apapun soal tradisi!!” Si Telinga menjerit.
“Tidak! Kalau kita melawan, aku akan terluka lagi!” seru Si Kulit dari balik balutan perban.
Putra pun menjadi geram. Sudah cukup baginya semua pengaduan dari panca inderanya. Makhluk yang bernama Tradisi ini sudah tak dapat diberikan tenggang rasa lagi. Sudah tak dapat diberikan maaf lagi. “Kita harus melawan!” gertak Putra tiba-tiba.
Seluruh panca indera milik Putra terkejut. Mereka memekik nyaris bersamaan, “TIDAAAK!!!!!” seru Si Mata.
“JANGAAAN!!!!” seru Si Telinga.
“Putra, kau tega sekali pada kami!!!” seru Si Lidah.
“Putra, kami tak mau terluka lagi!!” seru Si Kulit.
“Putra, jika kau melawan Tradisi, berarti kau membunuh kami! Kau membunuh dirimu sendiri!!” seru Si Hidung.
“DIAAAMMM!!!” bentak Putra. “Diam kalian semua!” Semua panca indera milik Putra pun terdiam. Mereka menghentikan semua pengaduan mereka pada Putra. Putra menarik nafas. Mencoba menjelaskan pada kelima panca inderanya.
“Bukan tujuanku untuk membunuh kita. Aku bukan melawan Tradisi untuk membunuh kita! Aku membunuh kita untuk melawan Tradisi!” serunya dengan lantang. “Tujuanku adalah melawan Tradisi! Bukan membunuh kita!”
Sejenak hening. Kemudian Putra memberi perintah pada Si Hidung. “Hidung, tuntun aku ke arah bau darah tersebut! Pasti Tradisi ada di sana!” Si Hidung menurut. Ia pun menuntun Putra menemukan Tradisi.
*******
Akhirnya Putra melihat makhluk kecil bernama Tradisi itu. Makhluk yang selama ini telah mengganggu ketenangannya dan kelima panca inderanya. Makhluk menyeramkan yang bisa mempengaruhinya kapan saja itu bergerak bersama ratusan pengikutnya yang membabi buta. Mereka saling memukul, saling menonjok, saling menggores. Menebarkan bau darah yang tercium oleh Si Hidung. Mempertontonkan adegan kekerasan pada Si Mata. Memperdengarkan suara-suara makian, cacian, pekikan, rintihan, dan rontaan pada Si Telinga.
“Kumohon, Lidah. Bantulah aku, untuk terakhir kalinya. Lantanglah! Lantanglah berbicara!” perintah Putra pada Lidah-nya.
Si Lidah pun menurut. Meskipun ia tahu ini adalah untuk yang terakhir kalinya ia akan lantang berbicara. “Wahai, Tradisi!” panggilnya menantang makhluk kecil yang mengerikan itu. “Kau mungkin telah sukses mengayomi, memimpin, dan merekrut banyak orang untuk melakukan apapun yang kau inginkan!”
Tradisi dan para pengikutnya pun menoleh ke arah Putra dan panca inderanya. “Tapi ingatlah satu hal! Kau tak akan pernah bisa mengayomi, memimpin, dan merekrut aku untuk melakukan hal-hal yang kau inginkan!” Putra dan Lidah-nya kembali menantang Si Tradisi.
Tradisi terlihat murka. Kemurkaannya itu ia salurkan kepada para pengikutnya. Ia perintahkan pada para pengikutnya untuk menyerang Putra dan kelima panca inderanya. Salah seorang pengikutnya yang membawa cutter di tangannya berusaha melukai Si Kulit. Tapi kemudian Putra memegang tangan Si Pengikut Tradisi tersebut.
“Kau tak perlu sungkan untuk melukaiku!” bentak Putra padanya. Kemudian Putra mengambil cutter dari Si Pengikut Tradisi dan kemudian menggunakan cutter itu untuk menusuk Si Mata dan Si Hidung, memotong Si Telinga dan Si Lidah. Kemudian Putra mengiris seluruh bagian kulit arinya. Tradisi dan para pengikutnya sangat terkejut.
Darah Putra menetes di mana-mana. Mengalir membanjiri seluruh sekolah. Membasahi kaki-kaki para pengikut Tradisi. Namun Putra hanya tersenyum. Dan dengan sedikit nafas yang masih tersisa, ia menertawakan Tradisi dan para pengikutnya. “Dengan begini, kalian tak akan bisa melukai kami lagi!” desisnya dengan lirih.
Jakarta, 30 September 2004
2 comments:
gw inget cerpen yg di kawanku
agak serem sih...
ini imajinasi lu yg kadang2 pengen nikam orang itu ya rim? -__-;
ada satu lagi kan rim? yg papanya pemain bola, posting juga dong :D
btw, rim rim baca postingan gw dong?
itu gw pake buat sample of written work ke oxford, huhuhu kayanya acak2an 0_*
masih seminggu lagi sih deadlinenya, smoga gada masalah lagi
http://melody-violine.blogspot.com/2010/01/rhymes-and-clauses-of-fix-you-by.html
menyentuh sangath :) walaupun serem juga ngebayanginx.
Posting Komentar
say something :)