Sekilas Biografi Abu Hanifah: Hindari Debat, Santun Saat Dakwahi Orang Tua, Berbuat Baik Pada Tetangga, Ilmu Sebelum Amal

Bismillaahirrohmaanirroohiim.

Assalamu'alaikum warrohmatullaahi wabarokaatuh.

Karena sedang terkena sindrom insomnia setelah minum obat flu (aneh kan? jangan2 ini obat flu palsu...), maka saya akan tulis info yang Insya Allah bermanfaat dari buku yang baru saja saya baca, yakni Biografi Imam Abu Hanifah atau orang yang pendapatnya jadi patokan fiqh mazhab Hanafi. Biografi ini oleh Dr. Tariq Suwaidan asal Kuwait dan sudah diterjemahkan oleh penerbit Zaman. Memang ada beberapa bagian yang kurang saya suka dari buku ini seperti penggambaran tokoh2 (ya, saya percaya melukis manusia bagian wajah dan kepala itu dilarang) ---> lalu dilempar batu krn terlalu wahabi.

Anyway, biografi ini menceritakan berbagai kisah hidup Abu Hanifah, khususnya terkait dengan profesinya sebagai ulama yg berkonsentrasi pada ilmu fiqih. Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 Hijriah. Keluarganya dekat dengan Amiirul Mu'miniin Ali bin Abi Tholib.Ia merupakan generasi Thobi'in.

Mulanya Abu Hanifah adalah pedagang yang kemudian menjadi ulama fiqih. Sebelum memilih bidang fiqih ini, dia sudah melakukan survey dulu mengenai keutamaan dan tantangan jalan yang akan ditempuh dalam berbagai bidang ilmu. Lantas ilmu fiqih inilah yang paling cocok untuknya.

Abu Hanifah banyak memiliki sifat2 mulia yang patut diteladani seperti jujur, sederhana (menghindari kemegahan), menasehati pemimpin dengan cara yang santun, berbuat baik pada tetangga, berpakaian rapi, dan menguasai kemampuan berinteraksi/berdakwah dengan baik. Namun, dalam blog ini saya hanya akan membahas beberapa hal saja yang "ngena" di saya. :))

1. Pada mulanya Abu Hanifah sering berargumen melawan berbagai sudut pandang orang yang sudah mulai melenceng dari aqidah (dari zaman dulu memang sudah ada). Namun, Abu Hanifah tidak melakukan itu karena ingin menjatuhkan lawan, melainkan karena khawatir lawan bicaranya akan terjebak dalam kesesatan. Setiap bertukar pikiran dengan orang yang berbeda pandangan itu, Abu Hanifah berharap kekhawatirannya ini tidak terbukti karena dia tidak pernah mengharapkan lawan bicaranya jatuh pada kekufuran. Lambat laun, Abu Hanifah merasa perdebatan itu mulai menguasai dirinya, akhirnya di berhenti. Ia bahkan menasehati anaknya untuk tidak berdebat soal agama apalagi bila mengharap bahwa pandangan lawan debatlah yang salah dan sesat. Bila seperti itu, bagi Abu Hanifah itu sama saja dengan mengharapkan saudara sendiri sesat demi kemenangan dan kepuasan pribadi saat debat.

2. Abu Hanifah sangat berbakti pada ibunya. Sering kali ketika ingin menanyakan fatwa, ibunya tidak percaya kata2 Abu Hanifah dan bertanya pada ulama2 lain dulu (yang ternyata ilmunya tidak sebanyak Abu Hanifah). Akan tetapi, dengan rendah hati Abu Hanifah mengizinkan ibunya bertanya pada ulama2 lain dulu yang umumnya sependapat dengan Abu Hanifah. Saat menasehati ibunya pun, ia menggunakan cara2 yang santun. Pernah juga suatu ketika Abu Hanifah dipenjara dan dipaksa menurut khalifah berkuasa (yang saat itu bukan pemimpin yang baik) hingga dipukuli. Abu Hanifah ingin menangis ketika dipukul, tetapi dia menahan tangisannya karena takut bila ibunya mendengar kabar bahwa dia menangis ketika dipukuli pemerintah, ibunya akan bersedih.

3. Abu Hanifah pernah memiliki seorang tetangga yang kerjanya mabuk2an dan bernyanyi keras2 mengganggu tetangga lain. Suatu hari, tetangganya ini ditangkap aparat dan dipenjara. Abu Hanifah datang menemui aparat agar tetangganya ini dibebaskan dan akhirnya dikabulkan. Singkat kata, Abu Hanifah tidak membalas perlakuan buruk tetangga dengan keburukan, tapi dengan kebaikan. Akhirnya tetangga tersebut pun bertobat tidak mabuk dan bernyanyi lagi.

4. Abu Hanifah juga menekankan ilmu sebelum amal. Menurutnya, amal baik harus terbangun di atas pengetahuan yang sahih. Orang baik bukan hanya orang yang berbuat kebaikan tapi mengetahui yg baik dan yg buruk lalu mengerjakan yg baik krn mengetahui keutamaannya dan meninggalkan yang buruk krn memahami akibat2 buruk2nya. Abu Hanifah berkata "bekal yang sedikit dengan pengetahuan itu lebih berguna ketimbang bekal yang banyak tanpa didukung pengetahuan." Allah berfirman, "Apakah sama orang2 yang mengetahui dengan orang2 yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang2 berakal sehat yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar: 9)

Ya, demikian segelintir dari sekian banyak nilai positif yang bisa diambil dari biografi Abu Hanifah. Saya ambil yang benar2 jleb2 di saya saja karena saya memang masih sering terjebak debat, kurang santun dalam mendakwahi orang tua, masih kurang empati dengan tetangga yang tidak disukai, dan masih kurang ilmu sebelum beramal. x(

Kalau mau tahu lebih banyak tentang beliau, silakan beli bukunya. hohoho. Semoga bermanfaat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 comments:

Melody Violine mengatakan...

Thank you,Rima.
sewaktu lo mulai kultwit, gw udah mau tidur soalnya

Posting Komentar

say something :)