A short story written by me. Dedicated to my Mom. I do love you, Mom. I just don't love those people around you...
Kaya dan Negeri Pelangi
Oleh: Rima Muryantina
Pada zaman yang tidak terlalu dahulu kala, di sebuah kota, tinggallah seorang anak perempuan bernama Kaya. Kaya tinggal di sebuah rumah besar bersama ibunya. Setiap hari, ibunya menyuruh Kaya untuk pergi ke sekolah. Kaya tidak suka sekolah. Ia selalu dijahili oleh anak-anak lain di sekolah. Setiap hari, anak-anak mengejeknya, Berkali-kali Kaya meminta mereka untuk diam, tetapi mereka tidak mau diam dan terus mengejek Kaya.
Suatu hari, ketika hari sedang hujan, Kaya sudah sangat kesal dengan anak-anak di sekolahnya. Ia tidak ingin sekolah. “Aku tidak ingin sekolah, Ma,” begitu kata Kaya pada ibunya. “Tapi kamu harus sekolah. Kamu harus belajar di sekolah supaya pintar,” ujar ibunya.
Kemudian ibunya juga menasihati Kaya agar mau bergaul dengan anak-anak lain di sekolah. “Aku tidak mau bergaul dengan mereka. Mereka hanya mau menghinaku,” seru Kaya dengan kesal. Ibunya berkata, “Kamu belum mencoba. Kamu harus berusaha untuk bisa berteman dengan mereka.”
Kaya yang kesal akhirnya berangkat ke sekolah sambil membanting pintu. Ia berjalan di tengah hujan tanpa membawa payung. “Semua orang tidak pernah mendengarkan aku dan berbicara sesuka mereka! Aku ingin pergi ke dunia tempat orang-orang tidak bisa berbicara!” seru Kaya sambil berteriak ke langit.
Saat itu, tiba-tiba Kaya mendengar suara dari belakangnya. “Keinginanmu bisa kukabulkan,” ujar suara itu. Kaya menengok ke belakang dan melihat seorang pria tinggi yang berpakaian serba hijau. Pria tinggi itu mengenakan topi hijau, kemeja hijau, jas hijau, celana panjang hijau, dan sepatu hijau. Ia juga membawa sebuah payung berwarna hijau.
“Keinginanmu akan kukabulkan, Kaya. Tapi kau harus bersedia memakai payungku ini,” ujar pria berpakaian hijau tersebut.
“Kamu siapa? Kenapa tahu namaku?” tanya Kaya pada pria berpakaian hijau itu.
“Aku Tuan Payung dari Negeri Pelangi. Aku mengabulkan keinginan anak-anak yang sedang bersedih. Tapi dengan satu syarat, anak yang bersedih itu harus bersedia mengenakan payungku,” ujar Tuan Payung dari Negeri Pelangi.
Kaya sebenarnya tidak terlalu percaya dengan kata-kata Tuan Payung dari Negeri Pelangi. Akan tetapi, ia tetap menerima payung tersebut dari Tuan Payung. Kaya pikir, “Mungkin orang ini hanya orang baik yang ingin meminjamkan payung padaku supaya aku tidak kehujanan.”
Ketika Kaya memegang payung tersebut, tiba-tiba Kaya terbang dengan payung hijau itu ke atas langit. Kaya terbang melewati awan. Hujan perlahan berhenti dan langit pun mulai terlihat cerah. Kaya melihat ada pelangi muncul di tengah-tengah awan. Di sana, ada anak-anak kecil yang bersayap sedang bermain-main. Mereka berseluncur di atas pelangi. Mereka memainkan awan seolah-olah awan-awan itu adalah gulali. Anak-anak itu kemudian membentuk sebuah tulisan dengan awan-awan tersebut. Tulisan itu menunjukkan pesan: “Selamat Datang di Negeri Pelangi”
Kaya yang masih melayang dengan payung hijaunya, kemudian mendekat ke arah anak-anak bersayap itu. Anak-anak bersayap itu mengajaknya bermain tanpa berbicara apa-apa. Mereka hanya bisa tertawa dan bersuka cita. Mereka tidak mengeluarkan kata-kata yang menyakiti Kaya. Semua sesuai dengan harapan Kaya. Kaya bahkan tidak perlu memperkenalkan diri pada mereka, mereka sudah langsung menerima Kaya sebagai bagian dari Negeri Pelangi. Kaya memang tidak kehilangan suaranya, tapi ia tidak perlu mengeluarkan suaranya karena tidak ada yang menuntutnya untuk bersuara. Kaya hanya diajak tertawa dan bersenandung bersama mereka.
Sejak saat itu, Kaya tinggal di Negeri Pelangi dan tiap hari bermain bersama anak-anak bersayap. Mereka berseluncur di atas pelangi, memakan gulali awan, menangkap bintang-bintang di saat malam, tidur di atas Nyonya Bulan, mendengarkan senandung burung yang berterbangan, dan menonton pertunjukan pantomim yang dilakukan oleh Tuan Matahari. Tidak ada yang bertengkar karena tidak ada yang berbicara. Sehari-harinya, mereka hanya tertawa dan bersenandung bersama.
Pada suatu malam, ada sebuah bintang jatuh. Anak-anak Negeri Pelangi berusaha mengejar bintang jatuh tersebut. Mereka berlomba-lomba untuk menangkapnya. Biasanya, setiap malam, anak-anak bersayap akan mengejar dan menangkap bintang tanpa harus bertengkar karena jumlah bintang di malam hari tak terhitung banyaknya. Mereka tidak pernah kekurangan bintang. Akan tetapi, kali ini mereka bertengkar memperebutkan bintang jatuh karena jumlah bintang jatuh hanya ada satu. Anak-anak bersayap yang tadinya hidup damai kini jadi saling memukul dan menjambak. Mereka menarik-narik bintang jatuh sambil saling membentak.
Kaya berusaha mendiamkan dan melerai teman-temannya. Namun, anak-anak bersayap tidak mendengarkan. Karena semua anak berteriak, secara bersahut-sahutan, kata-kata Kaya tidak lagi didengarkan. Akhirnya Kaya pun mengumpulkan gumpalan-gumpalan awan dan membuat tulisan di dekat pelangi. Kaya menulis “MAAF” dengan huruf yang sangat besar.
Nyonya Bulan memantulkan cahaya dari Tuan Matahari untuk membantu Kaya menerangi tulisan dari gumpalan awan tersebut. Karena cahaya yang dipantulkan Nyonya Bulan cukup terang, akhirnya anak-anak bersayap memperhatikan tulisan tersebut. “Kalian harus saling meminta “Maaf,” ujar Kaya pada anak-anak bersayap. “Ayo kalian bilang “maaf” satu sama lain,” pinta Kaya pada teman-temannya.
Setelah mendengar anjuran Kaya, anak-anak bersayap saling mengucapkan “maaf.” Setelah mengucapkan kata itu, mereka tidak lagi merasa kesal satu sama lain. Mereka menangis dan menyesal sudah bertengkar hanya karena ingin memperebutkan bintang jatuh. Meskipun begitu, mereka masih bingung harus melakukan apa pada bintang jatuh tersebut. Saat itulah, Tuan Payung yang berpakaian serba hijau tiba-tiba datang dan menawarkan bantuan pada Kaya. “Kaya, karena kamu sudah mendamaikan anak-anak bersayap dan mengajari mereka kata “maaf,” kamu boleh mendapatkan bintang jatuh itu dan menggunakannya sesukamu,” ujar Tuan Payung.
Anak-anak bersayap setuju. Mereka menyerahkan bintang jatuh itu pada Kaya. Ketika memegang bintang jatuh itu, Kaya teringat akan ibunya yang sudah ia tinggalkan sejak lama. Ia ingat sempat marah dan membanting pintu di depan ibunya. Kaya ingat bahwa ia sendiri belum meminta “maaf” pada ibunya. “Aku ingin bintang jatuh ini membawaku pulang ke bumi.”
Awalnya anak-anak bersayap bersedih mendengar Kaya akan pulang ke bumi. “Aku senang berteman dengan kalian, tapi rumahku di bumi. Aku harus kembali ke bumi,” ujar Kaya. Setelah mengucapkan perpisahan dan bermain dengan anak-anak bersayap untuk terakhir kalinya, Kaya diantarkan Tuan Payung kembali ke bumi dengan mengendarai bintang jatuh.
Kaya kemudian sampai di jalan tempat dia pertama kali bertemu Tuan Payung. Tuan Payung kemudian pergi kembali ke Negeri Pelangi bersama bintang jatuh. “Terima kasih Tuan Payung! Sampai jumpa,” kata Kaya sambil melambaikan tangan.
Di jalan itu, hujan tidak lagi turun. Kaya tidak lagi kebasahan. Ia berlari kembali menuju rumahnya. Kaya memanggil ibunya. “Mama, aku sudah pergi terlalu lama, ya?” tanya Kaya. “Kamu baru pergi tadi, Kaya. Dan kamu lupa bawa payungmu,” kata ibunya sambil menyerahkan sebuah payung hijau pada Kaya.
“Maafkan aku, Mama,” ujar Kaya sambil memeluk ibunya. “Aku akan pergi ke sekolah sesuai dengan perintah Mama. Dan aku tidak perlu payung hijau ini lagi, Ma. Hujan sudah berhenti,” kata Kaya sambil tersenyum.
Sejak saat itu, Kaya kembali menjalani hidup bersama ibunya, meski tidak selalu bahagia.