I Don't Want to be a Monster


Separuh Siluman
Oleh: Rima Muryantina

Di dalam tubuhku ini tertidur seekor siluman
Saat ia bangun, aku tidak bisa mengendalikannya
Dia sering mengambil alih kesadaran
Dan aku tak bisa menahan apa yang kulakukan
Sampai aku siuman

Aku ingin membunuh separuh dari diriku yang siluman ini
Tapi itu sama saja dengan membunuh diriku sendiri
Dan untuk melakukan itu, aku tidak cukup berani


Sebaiknya Kau Tidak Memikirkan Pernikahan dengan Akal Sehat

Oleh: Rima Muryantina

Seekor babi hutan sedang frustrasi dan menyendiri.
Ia menepi ke sebuah telaga,
Bercengkrama dengan bayangannya sendiri,
Sehingga mungkin ia dapat menjadi sedikit lebih lega.

Ia bertanya kepada sang bayangan,
Mengapa wajah babi hutan menyeramkan?
Mengapa warna babi hutan tak secerah awan?
Dan ia pun mempertanyakan,
Apakah benar di bumi yang penuh pertanyaan,
Terdapat sebuah entitas abstrak yang disebut keadilan.

Babi hutan juga mengeluhkan cara ia berjalan,
Yang selalu lurus, tak bisa berbelok,
Sehingga apabila ia ingin memangsa hewan-hewan kecil yang elok,
Hewan-hewan elok itu bisa dengan mudah menghindari babi hutan,
Dengan berjalan berbelok-belok,
Menyebabkan si babi hutan yang berjalan lurus jadi tertinggalkan.

Si bayangan menjawab pertanyaan babi hutan,
Entah hanya menghibur, entah benar-benar memberi jawaban,
"Sebaiknya kau tidak memikirkan pernikahan dengan akal sehat,"
Ujarnya lagi, "Akal sehat hanyalah ranah bagi manusia yang sehat."
Tambahnya lagi, "Makhluk seperti kita hanya perlu bersyukur, karena kita tidak perlu berbelok saat bertemu belokan."


Itu adalah puisi-puisi bodoh yang pernah saya tuliskan. Semuanya merujuk pada diri saya. Naratornya adalah diri saya. Tertawakan saja. Tapi saya tidak pernah bisa tertawa setiap kali membaca ulang mereka.

Puisi-puisi yang saya tulis, cerpen-cerpen yang saya buat, tulisan-tulisan yang tulis, termaksud yang sedang saya tulis di blog ini, adalah anak-anak saya. Meskipun orang lain menilainya jelek, meskipun kenyataannya memang jelek, saya senang mereka pernah ada. Karena merekalah yang benar-benar mengerti perasaan saya.

Orang-orang mungkin berpikir bahwa saya ini adalah orang normal, seperti orang-orang lainnya. Memiliki teman, belajar dengan giat, memiliki keluarga yang bahagia, tidak pernah melakukan perbuatan kriminal. Memang begitu adanya. Dan saya yang normal itu adalah bagian dari diri saya. Bagian dari diri saya yang saya sukai. Dan saya mensyukurinya.

Namun sampai saya ceritakan berapa kali pun, tidak akan ada yang percaya bahwa dalam tubuh dan jiwa saya bersemayam seekor makhluk yang tidak dapat saya definisikan. Dia mungkin hanyalah sisi buruk dari saya. Dan saya yakin, semua orang yang membaca blog ini akan berkata, "semua orang pasti memilki sisi buruk."

Tapi sisi buruk yang saya miliki ini berbeda. Dia terlalu liar, terlalu jahat, semua kegelapan, keburukan, dan kejahatan yang ada di muka bumi ini nampaknya ada padanya. Kadang-kadang ketika sisi buruk ini masuk ke dalam pikiran dan jiwa saya, saya rasanya ingin membunuh sisi buruk saya ini. Tapi sisi buruk ini sudah terlanjur bersatu dengan diri saya. Oleh karena itu, kalau saya membunuhnya, berarti saya membunuh diri saya sendiri.

Saya ini adalah tipe orang yang sangat menghindari perdebatan dan pertengkaran dengan orang lain. Orang lain, mungkin bisa objektif, mungkin bisa tetap sadar dan tidak khilaf, mungkin bisa tetap tenang dan bijak bila berada di situasi perdebatan dan pertengkaran. Orang lain mungkin akan bisa dengan tenang berada di sekitar orang-orang yang tidak mereka sukai. Orang lain mungkin tetap bisa berpikir positif dalam keadaan tertekan. Tapi saya tidak bisa begitu. Apabila saya terlibat dalam situasi emosi yang sangat mendalam, sisi buruk saya ini akan menguasai diri saya. Dia ambil alih. Dia bahagia. Karena selama ini saya selalu menekan dia untuk keluar. Saat dia keluar, dia bisa melakukan hal-hal di luar batas kemanusiaan. Dan itu pernah terjadi beberapa kali saat saya masih kecil dan belum bisa mengendalikannya. Sekarang setiap kali dia keluar, saya akan berusaha mengucap istighfar. Karena biasanya dia selalu melemah setiap kali saya ucapkan kata itu. Ya, dia itu setan. Setan yang ada dalam tubuh saya. Mungkin anda berpikir, "Semua orang juga memiliki setan dalam diri mereka." Tapi setan saya ini lebih jahat daripada setan-setan lain dan saya tidak dapat menjelaskannya.

Ada orang-orang yang dengan sengaja membiarkan setan yang ada dalam diri mereka menguasai mereka. Ada orang-orang yang bangga membiarkan setan berkuasa atas diri mereka. Mereka bahagia dan bangga akan ketidaknormalan dan kesetanan mereka. Ada juga orang-orang yang dapat mengendalikan setan mereka dan hidup bahagia dengan kebaikan, kenormalan, dan kemanusiaan mereka. Kalau saya? Sejujurnya saya sangat ingin jadi jenis yang kedua. Bahagia dengan kebaikan, kenormalan, dan kemanusiaan mereka. Saya ingin jadi manusia, saya tidak ingin menjadi setan. Tapi setan dalam diri saya ini terlalu kuat. Saya tidak lahir seperti manusia-manusia normal itu. Akan tetapi saya sangat ingin, sangaaat ingin menjadi manusia normal. Mungkin, kalau ingin menganalogikan perasaan saya dengan film Twilight (biar lebih mudah dicerna informasi dari saya ini), saya mungkin seorang vampir vegetarian. Saya tidak ingin menyakiti manusia lain, tapi saya terlahir sebagai orang jahat. Sebagai orang yang sangat mudah dengan natural menyakiti manusia lain.

Dan setiap kali saya menyakiti orang lain, di batas yang melanggar kemanusiaan, saya merasa jijik pada diri saya sendiri. Dan saya selalu ingin ambil air wudhu berkali-kali. Biasanya, dengan ambil air wudhu ini, si setan tadi bisa lenyap. Dan saya merasa tidak begitu jijik lagi. Hal yang sama juga terjadi setiap saya solat dan baca Qur'an. Oleh karena itu saya mengutuki diri saya sendiri kalau sedang menunda-nunda solat/wudhu/baca Qur'an. Bagi orang lain, hal-hal religius mungkin hanya sekedar kewajiban. Bagi orang tidak beragama, hal-hal religius mungkin hanya sekedar kewajiban yang dibuat-buat. Bagi saya, hal-hal itu adalah obat, penyelamat yang saya butuhkan. Kalau tidak, saya bisa sakau dan gila. Oleh karena itu, menunda-nunda meminum obat-obat itu sama saja dengan menyiksa jiwa saya sendiri. Dan saya masih sering menunda-nunda melakukan hal itu. Dan karena itulah saya bodoh.

Lalu saya ingat-ingat lagi. Sejak lahir pun saya sudah tidak normal. Tiga minggu setelah saya lahir, ada cairan dalam otak saya entah apa yang harus dikeluarkan. Dokter bilang, meskipun dioprasi, saya hanya punya dua pilihan: 1. Mati 2. Cacat mental. Akan tetapi, doa orang tua saya yang sangat sungguh-sungguh telah membuat 2 prediksi dokter ini gugur. Saya masih hidup sampai sekarang, sehat wal'afiat.

Tidak juga. Tidak sesehat wal'afiat itu. Kadang-kadang saya berpikir, 21 tahun yang lalu, saya seharusnya sudah mati. Tapi saya dipaksakan hidup, berkat doa orang tua saya yang tulus dan ikhlas itu. Meskipun cairan itu sudah dikeluarkan dari otak saya, otak saya sudah rusak, tidak sesempurna otak manusia biasa. Oleh karena itu kadang-kadang otak saya ini tidak dapat mengontrol setan jahat dalam diri saya ketika ia ingin melakukan hal-hal yang tidak manusiawi.

Pelarian dalam diri saya, yang mungkin tidak saya sadari adalah menyukai hal-hal yang mirip saya. Tapi hal-hal yang mirip saya itu sedikit sekali. Dan sekalinya ada orang-orang yang menyukai hal-hal yang saya sukai, ternyata alasan mereka menyukai hal-hal yang saya sukai itu tidak sama dengan alasan saya menyukai hal-hal yang saya sukai. Saya jadi merasa jalan pikiran saya sudah terlalu berbeda dengan manusia biasa. Dan saya pun merasa terlalu sendiri dan jauh dari peradaban manusia. Tapi, seperti yang saya analogikan tadi, saya pun tidak sanggup menjadi vampir. Saya tidak mau setan dalam diri saya menguasai diri saya. Saya gentayangan di antara dunia manusia dan dunia vampir.

Mungkin selamanya saya akan berusaha menjadi vampir vegetarian. Memenuhi kebutuhan diri saya sendiri, tanpa merugikan manusia lain. Saya pun takut suatu saat saya akan benar-benar menjadi vampir sungguhan.

Dan mungkin karena itulah, seberapa ringan pun gaya penulisan Stephanie Meyer, seberapa low budget-pun visualisasi dan efek dalam film Twilight... saya selalu tertegun mendengar quote Edward Cullen yang ini: "I Don't Want to be a Monster."

Karena saat Edward mengatakan itu, saya merasa dia menyatakan suara hati saya. Bedanya, dia beruntung... memiliki Bella yang bisa menerima dia apa adanya dan juga keluarga Cullen yang senasib dengannya.

Tapi saya lebih beruntung lagi (mungkin) karena dikelilingi keluarga saya, teman-teman saya, orang-orang yang tidak seperti saya... tapi seberapa aneh dan menakutkannya pun saya, mereka tetap menerima saya apa adanya. Jadi, saya hanya berusaha mensyukuri keadaan saya ini demi Allah swt., Rasulullah saw., dan orang-orang yang saya sayangi. Saya akan terus berusaha bertahan untuk tidak menjadi monster demi mereka semua. Mudah-mudahan saya tidak akan pernah lupa untuk bertahan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 comments:

Melody Violine mengatakan...

Lu jauh lebih beruntung daripada Edward, karena lu manusia... dan seorang muslim...

Posting Komentar

say something :)